Oleh Teguh Adminto*
Salah satu bagian seni yang memiliki pangsa penikmat terbanyak adalah sinetron. Karena itu merupakan suatu kewajiban kepada para insan seni persinetronan untuk selalu berkreatif membuat seni yang menjadi konsumsi publik. Baik dalam posisi sebagai sutradara artis dan sebagainya. Tapi sangat disayangkan, meskipun cukup banyak sinetron Indonesia ditanyangkan di media kaca, gregetnya masih saja kalah dari sinetron-sinetron luar.
Keprihatinan muncul ketika di sekeliling kita ternyata banyak fenomena yang kontras sekali dengan apa yang selalu kita lihat dalam layar kaca kita. Ironis, memang antara kehidupan maya yang ada dalam sinetron kita dengan relaita kehidupan yang ada di depan mata kita.
Jadi ingat dengan sinetron ACI (Aku Cinta Indonesia) yang ditayangkan ketika penulis masih berada dibangku Sekolah Dasar. Sungguh suguhan yang membawakan keluguan anak bangsa yang sedang giat belajar dan berkembang dengan usianya yang masih belia untuk mengisi kemerdekaan bangsa. Nilai moral yang di sisipkan sungguh mengena dengan psykologi anak bangsa yang sedang merajut asa menggapai masa depannya. Tentunya dalam ingatan kita masih segar dengan kisah keluarga cemara yang menjadi tontonan menarik dan gaya lugu sebuah keluarga yang tiba-tiba menjadi miskin. Tentunya kita sepakat jika dalam seguhan-suguhan yang muncul di layar kaca kita adalah suguhan yang mengedepankan sisi moral dan etika bangsa yang baik.
Sinetron Bermartabat
Hampir seluruh sinetron yang ditayangkan di layar kaca kita bertemakan hangar bingarnya kehidupan remaja, perselingkuhan, broken home, kekerasan, dan yang terbaru adalah mistik. Dan yang lebih aneh lagi tokoh yang ada di dalam sinetron-sinetron remaja itu bukanlah seorang remaja, lebih terkesan tokoh dewasa yang dibuat kekanak-kanakan dan para pemainnya adalah anak-anak yang dipaksa untuk dewasa.
Tema sinetron remaja kita saat ini tidak jauh dari soal remaja cewek yang berebut cowok-cowok yang menjadi idola atau sebaliknya, persaingan untuk menjadi orang beken di sekolah, pamer kekayaan orang tua ke sekolah, seragam sekolah yang superketat dan mini, takhayul, kehidupan yang glamour, cerita yang tidak mungkin terjadi di dunia nyata, dan peran orang tuanya berebut harta warisan.
Mungkin cerita-cerita itu memang ada dalam kenyataan, hanya saja presentasinya sangat sedikit. Kenapa mereka para pemilik Production House, sutradara dan penulis sekenario tidak berusaha menggali hal-hal positif di dunia remaja dan menampilkannya dalam sinetron yang dikemas dengan cerita yang menarik tapi sisi edukasinya tetap ditonjolkan. Sangat jarang cerita yang ditampilkan mengenai kesetiakawanan yang tulus, hormat kepada guru, tawa-canda ceria khas anak SD/SMP/SMU, semangat untuk merancang masa depannya, serunya kegiatan ekskul, serunya persaingan ranking kelas, serunya class meeting, atau menyentuhnya kisah perjuangan anak dari desa yang ingin tetap sekolah di kota.
Ada semacam kekhawatiran yang dengan dampak yang muncul akibat terlalu seringnya remaja kita yang mengkonsumsi tema-tema yang tidak mendidik dan akan mengakibatkan adik-adik kita yang masih sekolah menganggap cerita dan tokoh-tokoh di sinetron adalah sesuatu yang baik untuk ditiru, menganggap wajar dan memang seperti itulah dunia sekolah kita. Hal ini di pengaruhi ketokohan para pemain sinetron yang dianggap sebagai kiblat dari kehidupan remaja.
Tapi ada satu posisi tawar yang kuat dari para penonton untuk para Production house bikin sinetron, sinetron dibeli sama stasiun TV, operasional stasiun TV dibiayai oleh iklan, produk iklan dibeli oleh konsumen yang hampir seluruhnya adalah juga penonton TV. Jadi penonton TV yang bisa disamadengankan konsumen produk, menurut hemat penulis bisa menuntut TV untuk memberikan tontonan yang edukatif
Berbeda dengan tampilan Bajai Bajuri yang hampir setiap sore ditayangkan di Transtv selalu mendapatkan tempat tersendiri di hati para pemirsanya. Hal ini di karenakan tema yang diangkat dalam sinetron yang dibintangi Mat Solar dan Rieke Diyah Pitaloka ini sangat sederhana dan mengena dalam realita kehidupan dimasyarakat. Atau sinetron yang dikembangkan dari layar lebar kiamat sudah dekat yang disutradarai oleh Dedi Miswar, sangatlah dekat dengan kebiasaan hidup masyarakat betawi, sehingga alur ceritanya mudah diikuti, sinetron lain yang cukup mengena adalah Si Doel Anak Betawi yang merupakan adopsi dari kehidupan nyata masyarakat Betawi.
Seharusnya para pesinetron Indonesia melakukan suatu revolusi baik secara ideologi maupun tematik. Kedepan sinetron kita memang harus disikapi secara cerdas, artinya bagaimana caranya mengompromikan idealisme dan selera pasar. Mengawinkan yang bermartabat dan memiliki nilai jual di pasaran.
Jika kita amati lebih jauh, bahwa sinetron Indonesia tak lagi berwajah Indonesia. Selain itu, meminjam istilah Dr B Herry Priyono, sinetron Indonesia mengidap klise massal. Yakni hidup dalam kultur selebriti, mengkultuskan gaya hidup, serta penggerusan kapasitas berpikir.
Yang lebih mengkhawatirkan bahwa model sinetron seperti yang ada sekaranglah yang digilai masyarakat. Itu terjadi karena kita hidup dalam gejala "Mc-World", yakni atmosfer kehidupan yang diwarnai pola penyeragaman. Kedua, lantaran ketiadaan ideologi "kembali ke bumi". Dan ketiga, kita tidak mampu membedakan realitas sosial, realitas virtual, dan realitas iklan.
Masih terpuruk
Siapa yang tidak mengenal Meteor Garden dengan F4-nya. Dengan cerita klise yang dikemas sedemikan apik, ternyata mampu membuat penonton di Indonesia seperti terhipnotis. Tidak hanya anak-anak, remaja, dewasa, bahkan orang tua pun begitu menikmatinya. Konon dengan jam tayang yang terlalu larut, tetap saja tidak masalah bagi para penonton. Artinya, bagaimana pun caranya mereka tetap bertahan menuggu sampai malam.
Anehnya, film percintaan remaja begitu, tidak hanya habis pada masa jam tayangnya saja, melainkan terealisasi ke dunia nyata. Akhirnya bermunculanlah wajah-wajah cute dari F4, baik di peralatan sekolah sampai pakaian. Mode rambut rambut pun ikut-ikutan terkontaminasi. Style remaja sama sekali bisa diubah. Yakni dengan gaya F4 yang cuek, celana gomrang, plus kalau berjalan suka memasukan kedua belah tangan ke dalam kantong celana.
Padahal dibandingkan sinetron Indonesia, tema yang dimunculkan Meteor Garden tidaklah terlalu hebat. Hanya persoalan kisah cinta sepasang remaja yang berbeda status kehidupannya. Statusnya kaya dan yang miskin. Sementara lokasi syuting dan efek-efek pendukung pembuatan sinetron Meteor Garden kelihatan tidak amat spesifik. Hanya berkisar di rumah, kampus, taman atau sesekali di lapangan terbang. Lalu mengapa kekuatannya mampu menghipnotis sekian juta penonton, sekaligus mempengaruhi penampilan mereka?
Sebenarnya apa yang ditampilkan telenovela atau sinetron Mandarin, pada dasarnya memang merupakan pengadopsian dari ke hidupan masyarakatnya sehari-hari. Kehidupan mereka kebanyakan sudah mapan. Cenderung berbau jet zet. Maka ketika kisah kehidupan kaum menengah ke atas itu dikemas dalam bentuk sinetron, maka yang mencuat pada diri artisnya tidaklah mengada-ada. Artinya, mereka dapat mencalonkan peran masing-masing tanpa canggung. Dan cara pandang mereka tentang hidup dan penghidupan, sama seperti yang tertuang dalam sinetron-sinetron (telenovela) tersebut.
Lain dengan sinetron Indonesia. Tema-tema yang borjuis serta dibumbui kekayaan berlimpah-ruah, kelihatan cukup hambar. Karena artis yang memerankannya cenderung memaksakan diri. Lagi pula apa yang dikemas dalam sinetron tersebut, amat berlainan dengan yang terjadi di dunia nyata.
Kehidupan selebritis di dunia sinetron yang "wah", ternyata hanya segelintir kecil ada di dunia nyata. Maksudnya sinetron-sinetron yang kebanyakan menceritakan kehidupan orang-orang the have tersebut, tidaklah menyenangkan hati penonton. Sebab secara realita masyarakat Indonesia masih miskin, dan tidak berselera menonton sinetron yang cenderung mengada-ada itu. Belum lagi tema-tema berbau kriminal, sangat tidak disenangi para penonton. Dengan menculnya tokoh-tokoh jahat, penebar permusuhan, siasat licik, telah membuat sedemikian banyak pemirsanya sedikit kesal. Karena mereka tahu, watak manusia Indonesia kebanyakan tidaklah demikan. Masyarakat kita terkenal santun, saling menghormati, sekaligus suka menolong. Lalu mengapa sikap-sikap beringas tersebut terus dipompakan kepada masyarakat melalui sinetron.
Kesimpulannya apa yang dituangkan dalam sinetron Indonesia haruslah sederhana, ringan dan mudah dicerna. Sebab masyarakat kita sekarang ini sudah bosan dengan konflik, perdebatan, bahkan dengan berbagai persoalan hidup yang rumit. Jadi tidak ada salahnya memberikan mereka cerita segar, riang, sederhana yang tidak membuat emosi mereka semakin teraduk-aduk di tengah kehidupan bernegara yang kacau.
Ada suatu harapan dalam benak saya agar masyarakat bisa menyadari bahwa kebanyakan tontonan terutama sinetron berisi murni hiburan (bagi sebagian orang) yang isinya jarang sekali bersifat edukatif malah cenderung destruktif terhadap pendidikan moral. Jika banyak orang yang peduli tentang itu, kita bisa berharap bahwa nantinya kita bisa menuntut, bukan sebagai penonton, tetapi sebagai konsumen produk yang membiayai operasional stasiun TV. Dan satu hal yang cukup penting, "bukanlah sesuatu yang tidak mungkin untuk memberikan tontonan menghibur tapi sekaligus mendidik".
* Mahasiswa Hukum Universitas Muhammadiyah Malang juga asisten BKBH-UMM. E-mail: titto_arema@yahoo.com.
No comments:
Post a Comment