Sunday, January 22, 2006

PENYELESAIAN DENGAN MEDIASI LEBIH EFESIEN

oleh : Teguh Adminto *
Discription
Dilihat dari alasan pembuatan Perma ini yang terlihat dalam hal konsideran menimbang Perma tersebut memasukan mediasi kedalam suatu proses beracara dipengadilan yang menjadi alternative dalam penyelesaian sengketa guna untuk mengurangi menumpuknya perkara di pengadilan. Kemudian diharapkan dengan adanya alternative mediasi tersebut akan memunculkan dampak yang baik dari penyelesaian sengketa tersebut. Dengan jargon proses penyelesaian cepat dan murah serta lebih memberikan kesempatan kepada para pihak yang bersengketa untuk memdapatkan keadilan yang dicarinya dari kedua belah pihak yang bersengketa.
Dengan sistem baru diharapkan penyelesaian sengketa yang menggunakan sistim memutuskan perkara (Ajudukatif) untuk lebih diefektifkan menjadi penyelesaian sengketa yang tidak menimbulkan banyak implikasi terhadap para pihak yang bersengketa.
Mengingat Surat Edaran Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama untuk menerapkan lembaga damai belum lengkap dan masih perlu untuk disempurnakan.
Dengan menggunakan sarana mediasi dalam penyelesaian sengketa diharapkan terjadinya sebuah penyelesaian dengan mempertimbangkan implikasi yang akan muncul dari penyelesaian sengketa. Dengan maksud penyelesaian dengan cara mediasi akan muncul sebuah solusi dan penyelesaian sengketa dengan damai dan memuaskan semua pihak dalam Pengadilan Tingkat Pertama.
Maka diterbitkanlah Peraturan Mahkamah Agung yang diharapkan bisa mengisi kekosongan peraturan mengenai hal tersebut demi tercapainya kepastian, ketertiban dan kelancaran dalam penyelesaian dan mendamaikan para pihak yang bersengketa dalam hal perdata.
Untuk menyelesaikan perkara perdata pada pengadilan tingkat pertama wajib didahulukan dengan upaya damai dengan menggunakan mediator[1], jika dalam upaya mediasi sudah tidak menemukan titik temu antara kedua belah pihak yang beperkara, maka proses peradilan bisa dilanjutkan.
Tahap pra mediasi kedua belah pihak beperkara harus hadir dalam sidang yang kemudian hakim menawarkan kepada para pihak untuk menyelesaikan perkara dengan jalan mediasi dan hakim menunda sidang dan ketika itu juga hakim memberikan mengenai mediasi kepada para pihak sehingga jelas dan paham mengenai mekanisme mediasi, biaya, prosedurnya dan lain-lain. Dan hal para pihak memberikan kuasa kepada para kuasa hukumnya, kuasa hukum wajib memperoleh persetujuan dari para pihak dalam hal pengambilan keputusan.
Dalam waktu satu kali hari kerja setelah sidang yang pertama, para pihak atau kuasa hukumnya wajib berunding untuk menentukan mediator yang akan digunakan, baik yang terdaftar di pengadilan maupun yang diluar pengadilan. Jika hal itu belum terpenuhi sementara jatuh tempo satu hari pertama para pihak belum mendapatkan mediator yang dipilih dan dispakati, maka majelis hakim pemeriksa perkara berhak untuk menunjuk salah satu mediator yang terdaftar dalam Pengadilan Negeri untuk menjadi mediator mereka. Dan Majelis Hakim yang menangani perkara tersebut dilarang bertindak menjadi mediator perkara persebut.
Adapun waktu yang diberikan untuk menyelesaikan perkara dengan menggunakan mediator dari daftar yang ada pada pengadilan, maka mereka wajib menyelesaikan perkara tersebut dalam waktu tiga puluh hari kerja setelah sidang pertama. Jika terjadi kesepakatan mereka bisa meminta penetapan dengan suatu akta perdamainan dan jika tidak dikehendaki adanya akta perdamaian pihak penggugat wajib mencabut gugatannya.
Mediator yang dimaksud adalah dari kalangan hakim dan kalangan non hakim yang memiliki sertifikat sebagai mediator[2]. Dan dalam setiap Pengadilan Tingkat Pertama biasanya memiliki paling sedikit dua orang mediator yang data dan daftar riwayat hidupnya dimiliki oleh pengadilan setempat.
Semua mediator wajib mentaati prosedur yang ada dan diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung.
Dalam rangka memepermudah jalannya mediasi para pihak, maka para pihak wajib menyerahkan berkas dan dokumen yang berhubungan dengan perkara kepada mediator untuk mempelajari lebih jauh perkara yang sedang dihadapi. Karena ketika mediator sudah mengetahui duduk perkaranya maka akan lebih mudah dalam mengarahkan penyelesaian perkara tersebut.
Dalam proses perjalanan mediasi tersebut mediator menentukan jadwal pertemuan para pihak untuk memulai perundingan dan dalam proses tersebut para pihak dapat didampingi oleh penasihat hukum, namun tetap penasihat hukum dalam mengambil keputusan harus mendapatkan persetujuan dari para pihak.
Untuk mempermudah penyelesaian perkara tersebut para pihak diharapkan untuk menelusuri kasus yang mereka hadapi dan berusaha mencari penyelesaian yang lain dalam rangka mencari penyelesaian yang tidak merugikan salah satu pihak atau pihak lain. Dan mediator hanya diberi kesempatan menyelesaikan perkara dalam tempo dua puluh dua hari kerja sejak pemilihan mediator. Namun tidak menutup kemungkinan perkara tersebut tidak menemui titik temu yang diharapkan.
Untuk mempermudah penyelesaian perkara mediator dengan persetujuan para pihak atau penasihat hukumnya untuk mendatangkan ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelaskan atau pertimbangkan yang kemungkinan akan membantu dalam penyelesaian perkara tersebut.
Mengenai pembiayaan terhadap para ahli yang didatangkan, maka itu akan dibebankan kepada para pihak yang bersengketa berdasarkan kesepakatan bersama.
Selanjutnya jika dalam proses mediasi tersebut menghasilkan kesepakatan antar para pihak mediator membantu merumuskan secara tertulis kesepakatan yang sudah dicapi yang kemudian ditandatangani oleh para pihak. Dalam kesepakatan tersebut wajib dicantumkan klausul mengenai pencabutan perkara dari pengadilan dan perkara di anggap selesai. Isi kesepakatan tersebut harus diperiksa ulang untuk mengantisipasi adanya klausul yang bertentangan dengan kaidah hukum, untuk kemudian para pihak menghadap kembali ke majelis hakim untuk menyampaikan telah terjadinya sebuah kesepakatan yang kemudian hasil kesepakatan tersebut dikukuhkan oleh hakim menjadi akta perdamaian.
Jika proses mediasi tersebut tidak menghasilkan kesepakatan yang final antara para pihak, maka mediator harus melaporkan kepada majelis hakim yang kemudian hakim melanjutkan proses hukum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Segala yang bersangkutan dengan proses mediasi tidak berlaku dihadapkan sidang, serta dokumen-dokumen hasil dari mediasi yang tidak menghasilkan sebuah kesepakatan wajib untuk dimusnahkan. Kemudian dalam proses persidangan mediator tidak bisa didatangkan menjadi saksi dalam persidangan perkara tersebut.
Proses mediasi adalah bersifat tertutup bagi publik, kecuali para pihak menghendakinya untuk proses tersebut terbuka untuk umum. Namun untuk masalah yang berkaitan dengan masalah publik proses mediasi bersifat terbuka untuk umum.
Untuk tempat diselenggarakannya proses mediasi bisa digunakan ruang pengadilan pada pengadilan tingkat pertama atau tempat lain yang disepakati oleh para pihak yang beperkara. Untuk penggunaan ruang dan fasilitas pengadilan tidak dipungut biaya sedangkan untuk penyelenggaraan ditempat lain maka biaya dan lain-lain akan ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan.
Penggunaan hakim sebagai mediator dalam penyelesaian perkara tidak akan dikenakan biaya, namun jika para pihak menggunakan mediator yang bukan hakim maka biaya akan ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan bersama, kecuali para pihak tidak mampu.
Dengan berlakunya Peraturan Mahkamah Agung ini akan menghapuskan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2002 tentang pemberdayaan peradilan tingkat pertama menerapkan lembaga damai.
Perma yang ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung ini akan berlaku sejak tanggal ditetapkan yaitu tanggal 11 September 2003 di Jakarta.

Peluang ke Depan
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan menetapkan bahwa sebelum masuk pada proses hokum di pengadilan para pihak yang bersengketa akan ditawari proses mediasi sebelum mereka melanjutkan proses peradilan. Ide mediasi ini muncul untuk mengantisipasi menumpuknya perkara di Mahkamah Agung yang jumlahnya ribuan. Dari sekitar 16.000 perkara kasasi dan Peninjauan Kembali (PK) yang masuk, yang dapat diselesaikan oleh MA hanya 8.500-an perkara.
Yang perlu kita kemukakan kenapa yang bisa ditangani hanya terbatas pada perkara perdata saja? Kenapa tidak pada perkara-perkara yang lain yang memungkinkan untuk diselesaikan dengan cara mediasi. Bukankah dengan sistem mediasi yang kita terapkan akan lebih efisien dan cepat dalam penyelesaian perkara.
Tidak menutup kemungkinan dalam proses mediasi akan melibatkan penasihat hukum dari para pihak yang bersengketa dan menanggapi permasalahan itu maka dinilai perlu ada surat kuasa khusus untuk pengacara yang akan mengadakan perdamaian dengan pihak lawan. Pasalnya, setiap langkah yang diambil pengacara harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari kliennya.
Hal ini lebih jelas kita lihat dalam pasal 3 ayat (4) Perma Nomor 2 tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (Perma Mediasi) diatur bahwa setiap keputusan yang diambil dalam proses mediasi oleh pengacara yang menjadi kuasa hukum para pihak, harus mendapat persetujuan pemberi kuasa.
Setelah Perma Nomor 2 tahun 2003 berlaku sejak 11 September 2003, rencananya akan ada empat Pengadilan Negeri yang akan menjadi proyek percontohan bagi proses mediasi. Keempat Pengadilan Negeri tersebut adalah Pengadilan Negeri Jakakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Bengkalis, dan Pengadilan Negeri Padang.
Dengan demikian akan menjadikan pertimbangan (semoga) bagi Mahkamah Agung untuk menambahkan pemberlakuan perma tersebut kepada Pengadilan-pengadilan tingkat pertama di seluruh kota-kota besar menjadi proyek percontohan agar dengan berlakunya perma ini akan efektif dimasyarakat.
Dan bukan hanya di pengadilan saja, namun di lembaga-lembaga advokasi untuk disosialisasi mengenai perma ini, agar seorang advokat juga bisa berperan menjadi mediator dalam penyelesaian perkara.
Dalam sebuah proses mediasi, peran mediator hanya fasilitator saja, karena pada dasarnya pihak-pihak yang berperkaralah yang akan berunding untuk menemukan cara-cara penyelesaian perkara yang merupakan win-win solution. Dan peran mediator tidak boleh lebih dari itu, ketika mediator sudah berpihak kepada salah satu pihak maka rusak citra mediator di mata publik.
Sejak Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan ditetapkan pada 11 September 2003, semua perkara perdata di pengadilan negeri diwajibkan untuk menjalani proses mediasi sebelum disidangkan. Diharapkan, dengan melalui proses mediasi terlebih dahulu, pihak yang bersengketa dapat mengupayakan jalan damai terlebih dahulu. Kalau mediasi berhasil, otomatis perkara yang masuk ke pengadilan jumlahnya akan berkurang.
Untuk para mediator seharusnya bukan cuma sekedar netral, tapi harus aktif dalam upaya menyeleasikan perkara yang dihadapi. Dan saya pikir dalam penyelesaian perkara dan kita berada pada pihak mediator prinsip dasar yang harus dipakai dalam mediasi adalah semua pihak yang terlibat harus ikhlas mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran. Itu berlaku baik pada kuasa hukum bukan hanya pada hakim mediator
Kita berharap bahwa sistem mediasi yang ada bisa lebih efektif, produktif, dan tidak menimbulkan gesekan baru, yaitu sistem mediasi tertutup. Dalam sistem tertutup ini, apa yang diinginkan oleh para pihak tidak dibuka pada awal mediasi.
Sedangkan untuk para mediator-mediator yang menangani berbagai perkara tentunya terdiri dari berbagai multi disiplin sesuai dengan kebutuhan pasar. Dan sebagian besar dari mereka adalah berprofesi sebagai pengacara, namun ada pula yang berlatar belakang perbankan, asuransi, teknik sipil, manajemen, keuangan.
Adapun untuk wadah para mediator maka dibentuklah sebuah wadah yang sering disebut dengan Pusat Mediasi Nasional (PNM) yangberpusat di Jakarta dan lembaga ini menyedikan mediator dari berbagai disiplin ilmu agar klien dapat memilih mediator yang memahami bidang yang menjadi sengketa.
Untuk kalangan non hakim yang akan menjadi mediator maka harus memiliki Sertifikat mediator, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (10) Perma, adalah dokumen yang menyatakan bahwa seseorang telah mengikuti pelatihan atau pendidikan mediasi yang dikeluarkan oleh lembaga yang telah diakreditasi oleh Mahkamah Agung. Artinya, selain dapat melakukan mediasi diluar pengadilan, mediator lulusan PMN juga akan masuk dalam daftar mediator di Pengadilan.
Sebagai lembaga yang terbilang masih baru, maka lembaga mediasi harus disosialisasikan kepada seluruh kalangan masyarakat baik masyarakat atas maopun masyarakat bawah. Dari sini diharapkan masyarkat akan lebih paham dan mengerti tentang keberadaan lembaga mediasi ini, dan diharapkan masyarakat akan menggunakan lembaga ini dalam setiap menyelesaikan perkara perdata.





DAFTAR PUSTAKA

­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­___________, Empat Pengadilan Negeri Jadi Percontohan Proses Mediasi di Pengadilan, http://www.kompas.com/. Senin, 29 September 2003.
____________, Dewan Pers Bisa Jadi Mediator Perkara Pers, http://www.kompas.com/ Kamis, 23 September 2004
___________, Pengacara Perlu Diberi Kuasa Khusus Untuk Membuat Perdamaian Dalam Mediasi. http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=10657&cl=Fokus. [02-10-2003].
___________, Mediasi untuk Kurangi Tumpukan Perkara, http://www.hukumonline.com/ Berita, Jumat, 05 September 2003.
____________, Mediasi (Bukan) Basa-Basi http://www.hukumonline.com/. [06-07-2004]

____________, Pusat Mediasi Nasional Telah Memperoleh Akreditasi MA, http://www.hukumonline.com/. [15-07-2004]

____________, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

[1] Kita bisa melihat pada pasal 2 Perma yang menyebutkan semua kasus perdata wajib di terlebih dahulu siselesaikan dengan cara mediasi. Mengenai kode etik mengenai mediator, saya belum bisa menemukanya.
[2] Terus siapa yang mengeluarkan sertifikat untuk kalangan non hakim, perlu ngga untuk sekolah lagi menjadi mediator, jangan-jangan seperti advokat yang harus sekolah lagi dan memiliki kartu beracara yang dikeluarkan oleh lembaga tertentu.
[3] Lihat pada Mediasi (bukan) basa-basi, http://www.hukumonline.com/detail.asp?. [06-07-2004]
* Teguh Adminto adalah mahasiswa Fakultas Hukum UMM yang menjadi asisten Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH-UMM)

No comments: