TEGUH ADMINTO *
A. ETIKA ADVOKAT DALAM PENEGAKAN HUKUM
Advokat adalah setiap orang yang berprofesi memberi jasa hukum dan bertugas menyelesaikan persoalan hukum kliennya baik secara litigasi maupun nonlitigasi, dan sejak dulu keberadaan advokad selalu ada semacam ambivalensi[1]. Dalam bahasanya Frans Hendra Winata, tugas advokat adalah mengabdikan dirinya pada masyarakat sehingga dia dituntut untuk selalu turut serta dalam penegakan Hak Asasi Manusia, dan dalam menjalankan profesinya ia bebas untuk membela siapapun, tidak terikat pada perintah (order) klien dan tidak pandang bulu siapa lawan kliennya, apakah dia dari golongan kuat, penguasa, pejavbat bahkan rakyat miskin sekalipun[2]. Salah satu hal lain yang menarik perhatian adalah peran advokat bukan hanya sebagai spesialisasi dalam penyelesaian pertentangan antara warga, tapi juga sebagai spesialisasi dalam hubungan antara warga negara dan lembaga-lembaga pemerintahan, yaitu antara masyarakat dan negara. Dalam negara modern, tanpa ada orang yang mengisi fungsi itu secara profesional, masyarakat akan lebih mudah ditindas dan dipermainkan oleh penguasa.
Fungsi advokat bukan hanya berperkara di pengadilan, namun sangat penting, mewakili kepentingan warga negara dalam hubungannya dengan pemerintah. Justru karena profesi advokat mengerti akan bentuk, lembaga dan aturan negara dan bertugas untuk mewakili warga negara kalau bertentangan dengan negara atau warga negara yang lainnya.
Dalam kondisi yang demikian banyak advokat dengan sendirinya muncul dalam politik, urusan social, pendidikan, perjuangan perubahan politik atau ekonomi, dan sering masuk menjadi pimpinan gerakan reformasi. Bukan hanya advokat tentunya, tapi profesi itu menonjol dalam sejarah negara modern sebagai sumber ide dan perjuangan modernisasi, keadilan, hak asasi manusia, konstitusionalisme dan sejenisnya
Profesi advokat sejak 2000 tahun yang lalu dikenal sebagai profesi mulia (Officium Nobile) dan sekarang seakan sedang booming[3] di Indonesia. Hampir setiap orang yang menghadapi suatu masalah di bidang hukum di era reformasi ini cenderung untuk menggunakan jasa profesi advokat, mulai dari perkara-perkara besar yang melibatkan orang-orang kaya dan terkenal, seperti kasus KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), kasus perbankan, kasusnya para artis sampai kasus yang melibatkan rakyat kecil atau orang miskin, seperti pencurian ayam, penggusuran rumah dan lain sebagainya juga menggunakan jasa advokat.
Di dalam sistem hukum di negara kita terdapat jaminan adanya kesamaan dihadapan hukum (equality before the law) yang secara konseptual tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 1 yang berbunyi : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya“. Oleh sebab itu bagi setiap orang yang memerlukan bantuan hukum (legal aid) selain merupakan hak asasi juga merupakan gerakan yang dijamin oleh konstitusi. Disamping itu juga merupakan azas yang sangat penting bahwa seorang yang terkena perkara mempunyai hak untuk mendapatkan bantuan hukum (asas legal assistance), sehingga disinilah kedudukan profesi advokat dalam kekuasaan yudikatif dalam rangka pemberian bantuan hukum kepada masyarakat mempunyai arti yang sangat penting.
Dilihat dari sudut pandang ekonomi kondisi masyarakat Indonesia adalah bukan golongan ekonomi menengah keatas, namun 60 persen adalah masyarakat rata-rata menengah kebawah (miskin), sehingga tidak mungkin mampu untuk membayar jasa seorang advokat ketika berhadapan dengan persoalan hukum. Apalagi sebagian besar masyarakat indonesia masih buta akan persoalan hukum. Permasalahannya sekarang adalah bagaimanakah nasib mereka apabila dihadapkan dengan persoalan-persoalan hukum, siapa yang akan membantu, mendampingi dan membela hak-haknya. Sehingga disinilah kearifan seorang advokat dibutuhkan untuk dapat memberikan bantuan hukum cuma-cuma (probono) kepada masyarakat pencari keadilan yang tidak mampu.
Berkaitan dengan masalah bantuan hukum cuma-cuma terhadap orang yang tidak mampu, dahulu sebelum lahirnya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat , bantuan hukum secara cuma-cuma dapat diberikan oleh advokat/pengacara/penasehat hukum, baik bersifat perorangan maupun yang tergabung dalam organisasi profesi. Penasehat hukum (LBH/biro-biro hukum yang terdaftar pada Departemen kehakiman atau pada Pengadilan tinggi).
Namun sekarang semenjak lahirnya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 sebelum adanya Judicial Review[4] bantuan hukum cuma-cuma hanya dapat diberikan oleh advokat saja. Sebagaimana ketentuannya dalam pasal 1 (2) yang berbunyi :
“Jasa hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum laian untuk kepentingan hukum klien“[5]
Sehubungan dengan lahirnya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang pada intinya menyatakan hanya Advokatlah yang dapat memberikan jasa hukum dan bantuan hukum cuma-cuma baik di dalam maupun di luar pengadilan (Pasal 1 (1)), maka dari itulah penulis tertarik untuk mengetahui tentang persepsi dan pelaksanaan bantuan hukum secara cuma-cuma yang diberikan oleh advokat.
B. Pemberian Bantuan Hukum cuma-cuma oleh Advokat
Menurut Undang-udang Nomor 18 tahun 2003 tentang ADVOKAT pasal 22 ayat 1 yang berbunyi; “Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kerpada pencarikeadilan yang tidak mampu”, dan masalah ini juga pernah diatur dengan Insruksi Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.01-UM.08.10 tahun 1994 tentang Petunjuk pelaksanaan program bantuan hukum bagi golongan masyarakat yang kurang mampu melalui lembaga bantuan hukum yang telah disempurnakan dengan Instruksi Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.01-UM.08.10 tahun 1996, dalam rangka peningkatan pemerataan memperoleh keadilan dan perlindungan hukum, maka penyelenggaran dan pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma bagi golongan masyarakat yang kurang mampu yang selama ini hanya melalui Pengadilan Negeri sejak tahun anggaran 1980/1981 s/d 1993/1994 maka dalam tahun anggaran 1994/1995 seterusnya dirintis juga melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) disamping melalui Pengadilan Negeri yang selama ini telah ada, sehingga pelaksanaan pemberian bantuan hukum bagi golongan masyarakat yang kurang mampu ditempuh 2 (dua) cara yaitu :
1. Pelaksanaan Bantuan Hukum melalui Pengadilan Negeri.
2. Pelaksanaan Bantuan Hukum melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
Adapun model pemberian bantuan hukum yang ditawarkan adalah diberikan kepada tersangka yang tidak atau kurang mampu dalam :
a. Perkara pidana yang diancam pidana 5 (lima) tahun atau lebih;
b. Perkara pidana yang diancam pidana mati;
c. Atau perkara pidana yang diancam hukuman penjara kurang dari 5 (lima tahun) yang menarik perhatian masyarakat luas.
Adapun syarat untuk dapat mendapatkan bantuan hukum cuma-cuma adalah Surat Keterangan tidak mampu dari seorang tersangka atau terdakwa yang disahkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku, atau setidak-tidaknya oleh Kepala Desa yang diketahui oleh Camat, dan apabila mengalami kesulitan dapat membuat pernyataan di atas segel dan diketahui pengadilan dan dapat pula dengan surat keterangan Ketua Pengadilan Negeri yang menyatakan tidak mampu.
Sedangkan advokat yang memberikan bantuan hukum ditunjuk oleh Ketua Mejelis Hakim yang mengadili perkara yang bersangkutan setelah berkonsultasi dengan Ketua Pengadilan Negerinya. Penunjukan tersebut ditetapkan dengan Surat Penetapan Ketua Majelis Hakim dan diberikan kepada advokat yang mempunyai nama baik dan sanggup memberikan jasa hukunya secara cuma-cuma, sehingga biaya yang diberikan negara adalah sekedar penggantian atas ongkos jalan, biaya admisistrasi, dan lain sebagainya.
Disebutkan pula, jika dalam daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan tidak tersedia advokat yang dapat memberikan bantuan hukum, maka dapat ditunjuk pemberi bantuan hukum yang berdomisili dalam daerah hukum Pengadilan Negeri yang terdekat, atau dalam wilayah hukumnya Pengadilan Tinggi yang bersangkutan
Berkaitan dengan bantuan hukum cuma-cuma bagi masyarakat yang tidak mampu, tidak ada peraturan yang menyatakan batasan/ukuran masyarakat yang tidak mampu itu seperti apa, sebab banyak juga orang yang mengaku tidak mampu padahal dia mempunyai rumah yang layak dan sebuah toko yang cukup untuk menghidupi keluarganya. Padahal hal ini sebenarnya cukup penting guna menyeleksi klien yang benar-benar berhak mendapatkan bantuan hukum cuma-cuma. Jangan sampai advokat yang sudah merelakan waktu, tenaga, pikiran dan bahkan mungkin uang pribadinya demi memberikan bantuan hukum kepada klien yang bersangkutan akan menelan kekecewaan belaka setelah mengetahui kondisi ekonomi klien yang sebenarnya.
Apabila mengacu pada ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP yang berbunyi :
“Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan pada proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka,”.[6]
maka sebenarnya setiap pejabat yang memeriksa tersangka atau terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan, meliputi polisi pada tingkat penyidikan, jaksa pada tingkat penuntutan, dan hakim pada tingkat pemeriksaan di pengadilan, mempunyai kewajiban untuk menyediakan bantuan hukum, atau memastikan bahwa tersangka atau terdakwa yang diperiksa didampingi oleh seorang penasehat hukum. Bahkan menurut ayat (2) dari Pasal yang bersangkutan, yang menyatakan bahwa : “Setiap penasehat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimna dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma”, para advokat juga tidak luput dari kewajiban serupa, yaitu menyediakan bantuan hukum
secara cuma-cuma bagi tersangka atau terdakwa berdasarkan permintaan yang diajukan oleh para pejabat di lingkungan peradilan sebagaimana disebutkan di atas.
Agar bantuan hukum yang diberikan bermanfaat bagi seluruh masyarakat, maka perlu dalam pelaksanaannya dilakukan secara merata dengan penyaluran melalui berbagai institusi penegakan hukum yang ada seperti pengadilan, kejaksaan, organisasi advokat, maupun organisasi-organisasi masyarakat yang bergerak dibidang bantuan hukum.
Sebagaimana telah diketahui dan juga telah dijelaskan diawal tulisan ini, pelaksanaan bantuan hukum kepada masyarakat tidak hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendampingan advokat dalam setiap proses hukum melainkan lebih dari hal tersebut adalah bagaimana menjadikan masyarakat untuk mengerti hukum dan dapat mengkritisi produk hukum yang ada. Pengakuan Negara harus diwujudkan bagi pertisipasi masyarakat dalam pembentukan hukum. Hal yang terakhir ini dilaksanakan diantaranya dengan memberikan pendidikan hukum (civics education) kepada masyarakat.
Pada tataran normatif, diperlukan adanya pengaturan khusus yang sifatnya memfasilitasi pelaksanaan bantuan hukum. Melihat kebutuhan dan keberadaan undang-undang ini dalam rangka menjamin hak masyarakat untuk mendapat keadilan maka dirasa perlu adanya peraturan/undang-undang tentang bantuan hukum. Sebaiknya kalaupun ada undang-undang tentang bantuan hukum hendaknya tidak dilihat dari perspektif pelaksana pemberian bantuan hukum, melainkan dari kacamata masyarakat yang membutuhkannya, sehingga diharapkan materi pengaturan yang tercakup di dalamnya akan tepat pada sasaran yang dituju.
Dengan kata lain, jaminan terhadap bantuan hukum tidak berkaitan dengan adanya undang-undang bantuan hukum. Ketika yang dibicarakan adalah bantuan hukum dalam konteks struktural, maka perlu juga diperhatikan upaya pengembangan kapasitas masyarakat untuk mampu menyelesaikan sendiri permasalahan hukum yang dihadapinya lewat ketentuan yang memungkinkan diterapkannya Alternative Dispute Resolution (ADR). Perlu juga diperhatikan jaminan terhadap hak masyarakat untuk mengembangkan pengetahuannya dan sikap kritis terhadap setiap produk hukum negara maupun yurisprudensi yang dihasilkan pengadilan, dengan adanya ketentuan mengenai kebebasan mendapatkan informasi, serta berbagai ketentuan lain yang akan memberi iklim kondusif bagi terselenggaranya bantuan hukum individual maupun struktural.
Berdasarkan kebutuhan masyarakat akan bantuan hukum tersebut maka pengaturan bantuan hukum sebaiknya mencakup :
a. Jaminan terhadap masyarakat untuk mendapatkan akses ke peradilan formal dan untuk mendapatkan bantuan hukum yang merupakan wujud dari pelaksanaan bantuan hukum individual yang sebaiknya dilakukan oleh advokat dan dijamin oleh penegak hukum lainnya dalam setiap proses peradilan;
b. Jaminan terhadap masyarakat untuk mendapatkan pendidikan hukum sebagai wujud dari pelaksanaan bantuan hukum struktural;
c. Pengaturan mengenai koordinasi antar aparat penegak hukum dalam melaksanakan bantuan hukum;
d. Transparansi terhadap kebijakan hukum dan peradilan;
e. Pengaturan mengenai keterbukaan terhadap partisipasi masyarakat dalam mengkritisi produk hukum;
f. Pengaturan terhadap partisipasi masyarakat dalam mengkritisi prosedur dan pelaksanaan penegakan hukum;
g. Sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan.
Pada tingkatan praktis, yang perlu dipikirkan dalam pelaksanaannya adalah bagaimana system penyebaran bantuan hukum ini dan bagaimana dengan pola pembiayaannya.
Namun sebelum berbicara lebih jauh mengenai hal tersebut perlu dibedakan terlebih dulu pelaksanaan bantuan hukum individual dengan bantuan hukum struktural. Hal ini disebabkan adanya perbedaan karakteristik antara bantuan hukum individual dengan bantuan hukum struktural.
Bantuan hukum individual seperti yang dikatakan sebelumnya, lebih tertuju pada kegiatan pendampingan terhadap masyarakat dalam menyelesaikan masalahnya melalui proses hukum sehingga proses tersebut berjalan sebagaimana mestinya tanpa ada diskriminasi hukum terhadap mereka. Hal ini mengakibatkan perlunya kualifikasi tertentu, yaitu sarjana hukum yang menjadi advokat, bagi pelaksana bantuan hukum individual. Sementara bantuan hukum struktural kegiatannya lebih mengarah kepada proses pemberdayaan dan penyadaran masyarakat hukum supaya mereka dapat memperjuangkan hak-haknya yang dilanggar pada cara tertentu.
Bantuan hukum struktural selama tidak bersentuhan langsung dengan proses peradilan dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa harus memenuhi kualifikasi sarjana hukum sebagai advokat. Perbedaan lainnya terlihat pada target sasaran yang dituju, kalau pada bantuan hukum individual targetnya yaitu masyarakat secara individu sedangkan dalam bantuan hukum struktural targetnya adalah masyarakat dalam arti kolektif.
Pada bantuan hukum individual, ada 2 (dua) cara yang dapat digunakan supaya pelaksanaan bantuan hukum dapat berjalan dengan baik dan mencapai sasarannya yaitu :
a. Memberdayakan organisasi - organisasi masyarakat / swasta yang memberikan jasa bantuan hukum seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) ataupun Biro Bantuan Hukum (BBH) yang diadakan oleh universitas-universitas, dan lain-lain. Di sini masyarakat dapat secara langsung atau melalui pengadilan meminta bantuan kepada organisasi masyarakat/swasta tersebut.
b. Memberdayakan organisasi advokat. Pada model ini masyarakat dapat secara langsung atau melalui pengadilan meminta bantuan kepada organisasi advokat dimana nantinya organisasi advokat akan menunjuk anggotanya untuk membela anggota masyarakat yang tidak mampu.
Baik dengan cara-cara diatas, pada tingkatan proses perkara di Kepolisian maupun Kejaksaan, untuk tersangka/terdakwa yang tidak memiliki penasehat hukum, aparat polisi maupun jaksa yang menangani perkara tersebut wajib memintakan pendampingan penasehat hukum untuk tersangka/terdakwa tersebut melalui pengadilan.
Sementara pelaksanaan bantuan hukum (Advokasi) struktural dapat dilakukan melaui 3 (tiga) cara, yaitu :
a. Jalur non-litigasi, dimana lembaga-lembaga bantuan hukum yang ada dan setiap komponen masyarakat yang berkepentingan membantu memberikan pendidikan hukum kepada masyarakat guna menyadarkan mereka akan hak-haknya. Misalnya dengan menempelkan poster-poster di tempat-tempat umum, di institusi-institusi penegakan hukum yang berisi hak dan kewajiban mereka, membuat buklet-buklet yang berisikan informasi mengenai hak masyarakat dan kemudian disebarkan secara umum kepada masyarakat, atau dapat pula secara langsung mengadakan kontak dengan masyarakat melalui diskusi-diskusi yang bertujuan memberikan penyuluhan hukum kepada mereka. Yang intinya adalah meyadarkan masyarakat akan pentingnya hukum yang selama ini masih menjadi milik pemilik modal dan penguasa.
b. Jalur litigasi, di sini para aktifis bantuan hukum yang secara formal menyandang hak berpraktek sebagai advokat menggunakan jalur hukum untuk mengkritisi peraturan perundang-undangan positif yang ada. Misalnya dalam penanganan kasus-kasus politik, forum pengadilan dijadikan sebagai corong dengan persetujuan kliennya untuk menyampaikan pesan ketidak adilan bahwa suatu produk hukum tertentu tidak benar.
c. Policy reform, yaitu mengartikulasikan berbagai cacat yang terdapat dalam hukum positif dan kebijakan yang ada, untuk dikritisi serta kemudian memberikan alternatif-alternatif yang mungkin.
Namun pada prakteknya di lapangan, kedua bentuk bantuan hukum ini dapat dilaksanakan secara sinergis dan saling mengisi satu sama lain.
Sebelum berbicara mengenai sitem penyebaran bantuan hukum, tidak ada salahnya jika kita menengok ke belakang tentang sejarah lahirnya Lembaga Bantuan Hukum (LBH). LBH didirikan oleh Adnan Buyung Nasution pada tahun 1970. Adapun ide pembentukan lembaga tersebut adalah tidak lain karena pincangnya pola pembangunan di Jakarta, terutama pada awal tahun 1970. Dimana pembangunan hukum masih sangat ketinggalan, padahal pembangunan fisik berjalan sangat kencang. Sebagai akibatnya tidak jarang rakyat kecil harus menanggung kerugian akibat pembangunan fisik yang lebih didahulukan. Dimata Buyung, rakyat perlu didampingi agar hak-hak mereka tetap dapat terlindungi. Dengan dasar itulah LBH berdiri, dan karena kiprahnya yang selalu membela rakyat kecil yang tertindas namanyapun semakin berkibar dan kemudian melebarkan sayapnya hingga ke daerah-daerah dan membentuk Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Yayasan inilah yang menjadi payung LBH yang ada disejumlah daerah. Selama itu juga lembaga ini tetap konsisten untuk tidak memungut biaya bagi pembelaan terhadap hak-hak rakyat miskin. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, menurut penulis dalam hal pemberian bantuan hukum cuma-cuma kepada masyarakat yang tidak mampu sebaiknya tidak hanya dilakukan oleh LBH saja yang memang sudah menjadi tugasnya, namun perlu juga dibudayakan dikalangan advokat. Sebab apabila bantuan hukum hanya dilakukan oleh LBH hal ini tidak akan memungkinkan, karena jumlah LBH yang ada jauh lebih sedikit dari pada jumlah penduduk Indonesia. Meskipun sudah ada kententuan UU Advokat yang mewajibkan bagi para advokat untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma, namun hendaknya peran advokat dalam memberikan bantuan hukum dimulai dari kesadaran diri masing-masing, bahwa sebenarnya profesi advokat adalah profesi yang mulia (Officium Nobile) dan disitulah salah satu letak kemuliaannya. Dalam hal pemberian bantuan hukum cuma-cuma tentunya tidak bisa lepas dari peran dan fungsi oraganisasi advokat untuk selalu memberikan dorongan dan melakukan kontrol/pengawasan terhadap kegiatan tersebut.
C. Kewajiban dan Profesionalisme Advokat
Kebutuhan terhadap bantuan hukum seorang advokat bagi seseorang yang sedang menghadapi masalah hukum dirasa sangat penting. Bertolak dari asumsi atau pendapat ini, bahwa tugas seorang advokat dalam proses hukum adalah untuk membantu hakim dalam menemukan kebenaran hukum, maka kepentingan seorang klien dalam menggunakan jasa seorang advokat adalah upaya mencari perlindungan terhadap hak-haknya yang secara hukum harus dilindungi.
Dalam upaya melindungi kepentingan atau hak seorang klien itulah maka klien membutuhkan seorang advokat, sebab hampir bagian terbesar masyarakat merupakan komunitas yang awam atau buta hukum. Dalam realitas yang demikian itu, keberadaan seorang advokat menjadi sangat penting.
Idealnya, profesi advokat senantiasa membela kepentingan rakyat tanpa membeda-bedakan latar belakang, asal-usul, agama, budaya, warna kulit, tempat tinggal, tingkat ekonomi, jender, dan lain sebagainya. Pembelaan terhadap semua orang termasuk juga kepada fakir miskin sebagai salah satu bentuk bantuan hukum merupakan wujud dari penghayatan advokat terhadap prinsip persamaan kedudukan dihadapan hukum dan perwujudan dari hak untuk didampingi advokat yang dimiliki oleh semua orang.
Sejarah di Indonesia mewujudkan kontribusi signifikan dari kalangan advokat terhadap bantuan hukum cuma-cuma lembaga-lembaga bantuan hukum yang kini tumbuh kian pesat di Indonesia, juga tidak lepas sepenuhnya dari peran advokat. Ketika Peradin (Persatuan Advokat Indonesia) mengambil keputusan berani untuk mendirikan lembaga bantuan hukum yang didirikan di Jakarta, dan mengembangkan pola bantuan hukum struktural yang lebih menonjol sikap kritisnya kepada penguasa, gerakan demokratisasi melalui instrument hukum secara bergulir bertumbuhan pula. Beberapa organisasi advokatpun secara terbatas menjadikan bantuan hukum cuma-cuma (pro-bono) sebagai tolak ukur keberhasilan program pengapdiannya pada masyarakat.
Berdasarkan kondisi di masyarakt tanggapan para advokat, mereka tidak keberatan atau setuju dengan adanya kewajiban bagi advokat untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma (pro-bono) sebagai mana yang dimanatkan oleh Undang-undang Advokat nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat.
Respon para advokat mengenai hal tersebut diatas mengenai penanganan perkara pro-bono, ada beberapa alasan yang melatar belakanginya antara lain :
1. Didasari oleh tanggung jawab moral dan pertimbangan kemanusiaan semata
2. Didasari alasan demi kepentingan hukum, yaitu pandangan bahwa setiap orang yang terlibat suatu perkara berhak untuk mendapatkan bantuan hukum sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku
3. Ditunjuk oleh organisasi advokat yang menanganinya dalam merealisasikan program yang telah ditentukan oleh organisasi
4. Ditunjuk oleh penyidik atau pengadilan
Namun menurut hemat penulis bahwa tidak semua advokat setuju dengan ketentuan Pasal 22 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 yang mewajibkan advokat untuk memberi bantuan hukum secara cuma-cuma, namun yang menjadi kendala adalah dengan penggunaan istilah “kewajiban” memberikan bantuan hukum cuma-cuma sebagaimana ketentuan Pasal 22 Undang-undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat. Penggunaan istilah kewajiban mereka anggap adalah suatu keharusan yang mau tidak mau harus mereka lakukan apabila dihadapkan dengan klien yang membutuhkan bantuan hukum cuma-cuma, tanpa mempertimbangkan kondisi advokat itu sendiri, apakah sedang banyak menagani kasus pro-bono, atau bahkan sama sekali tidak sedang menangani kasus, sedangkan advokat tersebut hanya hidup dari uang jasa kliennya. Sehingga mereka mempunyai pandangan bahwa istilah “Wajib” dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tersebut diubah menjadi istilah “Hak”, jadi advokat berhak memberikan bantuan hukum cuma-cuma, atau menggunakan kalimat; Pencari keadilan yang tidak mampu berhak mendapatkan bantuan hukum cuma-cuma dari advokat.
Namun tingginya keterlibatan advokat secara kuantitatif dalam aktifitas bantuan hukum pro-bono tersebut tidak dengan sendirinya menjadi indikasi dengan pelaksanaan bantuan hukum di Indonesia telah berjalan dengan baik. Sebab ternyata hanya sedikit advokat yang mendasarkan kegiatannya tersebut pada tujuan yang lebih besar, bahwa prinsip fair trial harus dijaga sesuai dengan amanat ketentuan perundang-undangan. Serta bahwa nilai-nilai profesi menuntut mereka untuk menjamin akses masyarakat menuju proses peradilan formal, tanpa membeda-bedakan golongan masyarakat yang diwakili. Lebih sedikit lagi, adalah advokat yang melembagakan kegiatan bantuan hukumnya secara berkelanjutan melalui lembaga-lembaga bantuan hukum, atau melalui organisasi-organisasi advokat.
Jika bantuan hukum yang didasarkan pada pertimbangan kemanusiaan semata cenderung bersifat instant, tidak terprogram karena sangat dipengaruhi oleh hubungan psiko-sosial yang timbul antara pemberi dan penerima secara insidental, serta tidak membidik tujuan tertentu utamanya supremasi hukum dan keadilan sosial yang bersifat lebih luas, maka bantuan hukum yang dilatari alasan demi kepentingan hukum, atas tuntutan profesi, dan dilakukan secara kelembagaan melalui institusi-institusi yang relevan, akan lebih berkelanjutan karena telah diagendakan untuk perjuangan secara konsisten guna mencapai tujuan yang lebih besar dari sekedar pencapaian keadilan individual.
Pemberian bantuan hukum yang ditujukan kepada seiap orang memiliki hubungan erat dengan equality before the law yang menjamin justice for all (keadilan untuk semua orang). Oleh karena itu, bantuan hukum selain merupakan hak asasi juga mempunyai gerakan konstitusional. Dengan ketentuan di atas dapat dikatan bahwa bantuan hukum merupakan hak setiap warga tanpa terkecuali. Praktek ini secara yuridis terdukung oleh ketentuan-ketentuan universal yang berkaitan dengan penegakan HAM. Frans Hendra Winata mengatakan bahwa pemberian bantuan hukum bagi masyarakat (miskin) sebagai penegakan HAM dan bukan belas kasihan.
Apabila sebagian besar advokat di Indonesia memandang bantuan hukum sebagai sebuah “amal profesi” belaka, bisa dimengerti mengapa proses pelembagaan bantuan hukum berjalan sedemikian tersendat dan tidak kunjung mendatangkan harapan untuk bisa menjadikannya sebagai gerakan kolektif. Jika cara pandang tersebut terus digunakan, tanpa diiringi upaya mentransformasikannya sebagai komitmen perjuangan dan identitas bersama, akan berimplikasi langsung pada: (i) senjangnya distribusi kesempatan; (ii) miskinnya kualitas bantuan hukum karena dilakukan tanpa landasan idealisme yang memadai; (iii) dan semakin menjauhnya posisi advokat dari penerimaan serta dukungan publik.
D. Kendala yang dihadapi Advokat.
Suatu negara hukum (rechtstaat) baru tercipta apabila terdapat pengakuan terhadap demokrasi dan hak asasi manusia. Dalam negara hukum, negara dan individu berada dalam kedudukan yang sejajar (on equal footing), kekuasaan negara dibatasi oleh hak asasi manusia agar tidak melanggar hak-hak individu. Jaminan terhadap pelaksanaan HAM diperlukan dalam rangka melindungi serta mencegah penyalah gunaan wewenang (detournement de pouvoir) dan kekuasaan yang dimiliki oleh negara (abuse of power) terhadap warga negaranya.
Persamaan dihadapan hukum dan hak untuk dibela advokat atau penasehat hukum adalah hak asasi manusia yang perlu dijamin dalam rangka pencapaian keadilan sosial, juga sebagai salah satu cara mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, khususnya dalam bidang hukum.
Pada kenyataannya tidak semua warga negara mempunyai kemampuan untuk menggunakan jasa advokat atau penasehat hukum guna membela kepentingan mereka dalam memperoleh keadilan. Hal ini disebabkan karena sebagian besar anggota masyarakat Indonesia masih hidup dibawah garis kemiskinan dan kurangnya pengetahuan mereka akan hukum, serta ditambah lagi dengan rendahnya budaya dan tingkat kesadaran hukum masyarakat.
Pelaksanaan bantuan hukum sangatlah diperlukan untuk menjamin dan mewujudkan persamaan dihadapan hukum bagi setiap orang terutama fakir miskin. Hal ini juga dimaksudkan guna terciptanya prinsip “fair trial” dimana bantuan hukum yang dilaksanakan oleh seorang advokat dalam rangka proses penyelesaian suatu perkara, baik dari tahap penyidikan maupun pada proses persidangan, amat penting guna menjamin terlaksananya proses hukum yang sesuai dengan aturan yang ada, terlebih lagi ketika ia mewakili kliennya dalam beracara dipersidangan untuk memberikan argumentasi hukum guna membela kliennya.
Namun dalam pelaksanaan di lapangan bantuan hukum cuma-cuma yang diberikan oleh advokat tidaklah mudah dilakukan, banyak kendala-kendala yang dihadapi oleh advokat ketika mereka memberikan bantuan hukum tersebut.
Ada beberapa kendala yang dialami oleh advokat dalam menangani kasus pro-bono yang menghambat mereka antara lain bahwa kendala yang sering dihadapi ketika memberikan bantuan hukum cuma-cuma adalah kendala dana, dimana hal ini dikarenakan kondisi ekonomi klien yang tidak mampu menyebabkan advokat yang menangani perkaranya tersebut harus rela tidak mendapat uang jasa/transport dari klien, bahkan dia harus rela juga mengeluarkan uang pribadinya untuk membiayai perkara tersebut. Keadaan ini terjadi karena biaya prodeo dalam perkara pidana yang diberikan oleh pemerintah di Pengadilan Negeri rata-rata hanya sebesar Rp. 300.000,- per kasus sering tidak sampai kepada orang yang membutuhkan. Kalaupun dana prodeo tersebut turun, biasanya hanya setengahnya saja itupun dengan prosedur pengurusan yang berbelit-belit di Pengadilan Negeri, sehingga banyak advokat lebih rela mengeluarkan dana pribadinya ketika menangani perkara prodeo dari pada harus mengurus dana prodeo dari pemerintah di Pengadilan Negeri yang berbelit-belit
Tidak hanya itu saja terjadi para advokat, kendala yang dihadapi ketika memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma adalah kurangnya koordinasi dan dukungan dari aparat penegak hukum lainnya seperti polisi, jaksa, hakim dalam pemberian bantuan hukum cuma-cuma. Hal ini dapat dilihat dari jarangnya permintaan kepada advokat oleh aparat penegak hukum baik polisi maupun jaksa untuk memberikan bantuan hukum ketika ada klien yang tidak mampu secara ekonomi dihadapkan dengan perkara pidana dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun lebih. Penyidik lebih suka tersangka tidak didampingi oleh advokat dan hal ini biasanya diligitimasi dengan pernyataan klien yang tidak mau didampingi oleh advokat ketika disidik, kalaupun klien tersebut mau didampingi oleh advokat, biasanya aparat penegak hukumnya yang menunjukkan sikap kurang bersahabat dengan advokat yang mendampinginya.
E. Solusi dan Harapan Advokat
Adapun harapan-harapan advokat ke-depan berkaitan dengan pemberian bantuan hukum cuma-cuma adalah diharapkan perlu adanya peraturan atau undang-undang yang khusus mengatur tentang bantuan hukum cuma-cuma, dan sekiranya diharapkan adanya dana dari pemerintah dalam hal penanganan perkara prodeo oleh advokat dan diharapkan adanya koordinasi antara advokat dengan aparat penegak hukum dalam pemberian bantuan hukum pro-bono.
Beranjak dari kendala-kendala yang dihadapi oleh advokat dalam memberikan bantuan hukum cuma-cuma, maka dirasakan kebutuhan untuk mengatur lebih lanjut mengenai bantuan hukum sebagai salah satu cara untuk membela dan memperhatikan masyarakat yang tidak mampu dalam memperjuangkan hak-haknya yang dilanggar, sehingga bantuan hukum ini dapat berjalan dengan baik dan dirasakan setiap anggota masyarakat yang memerlukannya. Seiring dengan diaturnya profesi advokat sebagai profesi yang juga berperan dalam penegakan hukum di Indonesia terdapat usulan untuk memasukkan pengaturan mengenai bantuan hukum pro-bono kepada mesyarakat tidak mampu, kedalam rancangan Undang-undang Advokat pada saat itu.
Namun menurut Luhut M.P. Pangaribuan, tidak cukup untuk mengatur masalah bantuan hukum ini didalam rancangan Undang-Undang Advokat saja. Menurutnya, lebih bagus kalau dibuat suatu undang-undang yang khusus mengatur mengenai bantuan hukum. Pendapat tersebut didukung oleh Mas Achmad Santosa, yang mengatakan bahwa pembentukan undang-undang khusus mengenai bantuan hukum dimungkinkan sepanjang materi pengaturannya bersifat memfasilitasi ketimbang membatasi dan meregulasi. Maksudnya adalah negara bertanggung jawab untuk memfasilitasi baik infrastruktur dan pembiayaan, dan harus menghindari bentuk-bentuk kooptasi yang pada akhirnya memperbanyak campur tangan negara, sehingga mereduksi keberadaan bantuan hukum yang obyektif, transparan, dan berkelanjutan, yang juga sangat ditentukan oleh peran kekuatan-kekuatan lain di luar negara seperti advokat dan organisasinya, serta masyarakat sendiri.
Disatu sisi usulan untuk memasukkan pengaturan mengenai bantuan hukum pro-bono ke dalam rancangan Undang-Undang Advokat merupakan pemikiran yang positif. Karena adanya pengaturan ini dalam Undang-Undang Advokat akan memberi penegasan kepada para advokat untuk turut bertanggung jawab serta mendukung dan melaksanakan kegiatan bantuan hukum pro-bono kepada masyarakat.
Namun disisi lain ternyata pola pengaturan bantuan hukum dalam undang-undang mengenai profesi advokat dipastikan masih kurang memadai karena beberapa alasan. Alasan pertama, pelaksanaan bantuan hukum yang merupakan jaminan terhadap equality before the law dan access to legal counsel dalam rangka tercapainya due process of law bagi masyarakat tidak mampu, tidak hanya melibatkan advokat didalamnya melainkan juga aparat penegak hukum yang ada di dalam seluruh proses peradilan seperti hakim, polisi dan jaksa. Masing-masing aparat penegak hukum dan advokat memiliki peran sendiri-sendiri dalam pelaksanaan bantuan hukum sesuai dengan kapasitas dan kewenangan yang dimilikinya dalam rangka penegakan hukum serta terciptanya keadilan bagi semua orang (justice for all). Selama ini pelaksanaan bantuan hukum terkesan agak terhambat karena tidak adanya koordinasi antara para pihak yang terkait. Dari sinilah perlu adanya koordinasi yang jelas antara para pihak tersebut dalam pelaksanaan bantuan hukum sehingga tidak menimbulkan ketergantungan atau tumpang tindih kewenangan satu sama lain yang pada akhirnya dapat menghambat pelaksanaan pemberian bantuan hukum yang efektif.
Alasan berikutnya adalah mengenai kejelasan dalam hal pendanaan kegiatan bantuan hukum pro-bono yang ditujukan untuk masyarakat yang tidak mampu, siapa yang harus membiayai dan melaui mekanisme apa pembiayaan tersebut dilakukan. Ketiga, yang juga perlu diatur dan dipikirkan adalah teknis penyebaran pelaksanaan pemberian bantuan hukum pro-bono itu sehingga dapat secara merata dimanfaatkan oleh semua anggota masyarakat yang membutuhkannya. Keempat, dilihat dari sipenerima bantuan hukum pro-bono tersebut juga harus diatur secara jalas mengenai siapa saja yang berhak untuk mendapatkan bantuan hukum pro-bono dalam arti kriteria apakah yang perlu dipenuhi untuk anggota masyarakat agar ia menerima bantuan hukum. Kelima, mengenai pengawasan pelaksanaannya di lapangan. Serta keenam, bila perlu diatur juga mengenai sanksi bagi aparat penegak hukum yang melanggar hak anggota masyarakat untuk mendapatkan bantuan hukum guna kepentiangan pembelaan terhadap dirinya.
Atas alasan-alasan tersebut di atas, diperlukan suatu pengaturan khusus mengenai bantuan hukum pro-bono agar dapat berjalan dan bermanfaat secara maksimal. Di Inggris misalnya, bantuan hukum untuk masyarakat tidak mampu diatur dalam undang-undang khusus yang disebut Legal Aid Act 1988. Undang-undang ini didesain untuk mengadakan pengaturan terhadap pemberian jasa nasehat dan asisten hukum serta perwakilan hukum untuk beracara dalam kasus-kasus perdata maupun pidana yang terjadi di Inggris dan Wales. Bantuan hukum dibiayai dari dana umum untuk membantu orang yang tidak bisa mendapatkan nasehat, asistensi atau perwakilan karena uang mereka tidak cukup. Begitu halnya di Singapura yang memiliki aturan tersendiri terhadap bantuan hukum pro-bono, yaitu Legal Aid and Advice Act. Bahkan melalui Legal Profession Act, Direktur dan Asisten Direktur Legal Aid diberi hak privilege sebagai salah satu pihak yang diberi kekuasaan untuk berpraktek di pengadilan di luar advokat dan solicitor.
Sebenarnya kebutuhan akan pengaturan khusus mengenai bantuan hukum pro-bono itu sendiri juga merupakan amanat dari Pasal 37 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Undang-undang Kekuasaan Kehakiman dalam rangka pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan tentang pemberian bantuan hukum bagi setiap orang yang berperkara.
Namun yang perlu diingat adalah jangan sampai pengaturan tersebut nantinya malah bersifat membatasi ruang gerak dan keleluasaan para pihak dalam melaksanakan bantuan hukum. Karena itu diharapkan partisipasi yang besar dari para pihak baik advokat, aparat penegak hukum, maupun anggota masyarakat untuk turut mendukungnya.
Adapun mengenai pola pembiayaan bantuan hukum pro-bono, pada awal tulisan disebutkan bahwa kewajiban negara untuk menyediakan dan mendukung pelaksanaan bantuan hukum sebagai konsekuensi jaminan negara terhadap hak-hak asasi warganya dibidang hukum. Salah satu bentuknya adalah dengan membantu pendanaan bantuan hukum. Dalam hal ini negara memberikan kontribusi dana operasional kepada organisasi-organisasi masyarakat yang bergerak dibidang pelaksanaan bantuan hukum dan juga dengan cara membayar jasa advokat yang ditunjuk oleh organisasi profesinya guna mendampingi klien dalam rangka pelaksanaan bantuan hukum pro-bono.
Meskipun negara memiliki kewajiban yang besar untuk mendukung pelaksanaan bantuan hukum, namun mengungat kondisi yang selama ini terjadi, akan lebih baik apabila tidak terlalu bergantung kepada negara dalam pembiayaannya. Lembaga-lembaga bantuan hukum yang ada sudah harus mulai mencari dana sendiri gunan membiayai operasionalnya, tanpa harus selalu meminta dari negara ataupun dari donatur asing.
Kelangsungan pelaksanaan bantuan hukum tidak lepas dari peran advokat sebagai realisasi dari tanggung jawab dan kepedulian sosialnya terhadap masyarakat. Perlu adanya dukungan yang kuat dari advokat baik berupa tenaga maupun dana untuk pelaksanaan bantuan hukum ini. Dari segi tenaga, para advokat tersebut dapat turut secara aktif ke lapangan melakukan kegiatan bantuan hukum melalui cara-cara yang telah dijelaskan disebelumya. Mengingat tidak semua advokat dapat meluangkan waktunya guna melaksanakan bantuan hukum, bagi mereka ini dukungan dapat diberikan dalam bentuk sumbangan dana dalam jumlah minimum tertentu untuk pelaksanaan kegiatan bantuan hukum.
Sumbangan dana ini dikumpulkan melalui organisasi advokat untuk kemudian disalurkan kepada LBH-LBH yang memang telah memenuhi persyaratan untuk mendapatkannya. Sumbangan advokat ini disatu sisi dapat menjadi alternative pemecahan sumber dana bagi pelaksanaan bantuan hukum, tanpa harus tergantung pada negara ataupun lembaga-lembaga donor asing, dan disisi lain juga turut memberdayakan dan memberikan tanggung jawab kepada advokat untuk mensukseskan pelaksanaanya. Kemudian sebagai pertanggung jawaban dari penerimaan dana tersebut, lembaga-lembaga bantuan hukum yang menerimanya wajib memberikan laporan secara berkala kepada negara dalam hal ini kehakiman dan juga kepada organisasi profesi advokat mengenai kegiatan bantuan hukum yang dilakukan serta dibuka peluang kepada masyarakat untuk mendapatkannya.
* penulis adalah Assisten Laboratorium Hukum fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (titto_arema@yahoo.com)
DAFTAR PUSTAKA
Hendra Winata, Frans, Advokat Indonesia, citra, idealisme dan keprihatinan, Sinar Harapan. Jakarta. 1995.
Hendra Winata, Frans, Dimensi Moral Profesi Advokat dan Pekerja Bantuan Hukum, www.komisihukum.go.id. 2004.
Kansil, C.S.T. dan Chirstine S.ST, Kansil, Pokok-pokok Etika Profesi Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta. 2003.
Karijadi, M dan R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Politeia, Bogor. 1992
Mulya Lubis, T, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, LP3ES. Jakarta. 1986.
_______________, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat
_______________, Kiatab Undang-undang Hukum Acara Pidana, karya Anda. Surabaya.
[1] Menurut hemat penulis keadaan seperti ini menjadi dilema yang selalu membayangi para Advokat, disatu sisi advokat dianggap sebagai profesi yang senang mempermainkan hukum dan membuat perkara, karena memang litigasi adalah bagian dari pekerjaan utamanya, dan disinilah moral seorang advokat diuji dan dipertaruhkan, Namun disisi lain, jika kita renungkan siapa lagi yang bisa menolong orang yang sedang bertentangan dengan sesama warga lain atau bahkan dengan penguasa atau negara yang seringkali kedudukan sosialnya sangat berbeda
[2] Baca, Hendra Winata, Frans Advokat Indonesia, citra, idealisme dan kepribadian. Sinar Harapan, Jakarta.1995, hal; 14.
[3] Disertai semakin pulihnya kepercayaan masyarakat kepada aparat penegak hukum yang didukung dengan pola pikir masyarakat yang semakin maju dan berpikir aktif, profesi ini semakin diminati dan digandrungi masyarakat luas.
[4] Setelah permohonan Judicial Riview yang dilakukan oleh Tim LHPH. Akhirnya kekuatan hukum pada Pasal 33 kini tidak berlaku lagi, dan sekarang Advokasi bisa dilakukan oleh para pengacara kampus.
[5] Lihat undang-undang nomor 18 tahun2003 tentang Advokad
[6] Baca Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana pasal 56 ayat 1 hal;30
1 comment:
makasih atas pengetahuannya, Pak.
Saya anak Pungky anak hukum UGM. Kalau ada persoalan yang berkaitan dengan hukum saya harap Bapak membantu saya. Atas perhatian dan terkabulnya harapan saya, saya ucapkan terima kasih.
Post a Comment