Kontrak Politik Suatu Pelanggaran Fungsi Legeslatif
Oleh : Teguh Adminto*
Oleh : Teguh Adminto*
Prosesi pelantikan anggota Dewan Perwakilam Rakyat Daerah (DPRD) periode 2004-2009 hampir diseluruh Kabupaten/kota di Indonesia diwarnai dengan berbagai aksi yang dilakukan baik oleh aktifis mahasiswa maupun oleh lembaga yang mengatasnamakan masyarakat dengan cara melakukan kontrak politik dengan anggota (DPR/DPRD). Kontrak politik yang dilakukan oleh beberapa kalangan dimasyarakat merupakan yang sebenarnya menarik untuk dikritisi, sejumlah elemen yang mengatasnamakan masyarakat di Yogyakarta melakukan kontrak politik dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang baru terlantik, namun hanya 20 anggota yang bersedia menandatangani draft kontrak yang telah disediakan oleh para aktifis. Tidak jauh berbeda kondisinya terjadi pada saat pealantikan anggota DPRD DKI Jakarta yang hanya dihadiri oleh 53 dari 85 anggota DPRD terpilih.
Fenomena yang sama terjadi pada waktu pelantikan anggota DPRD kota Surabaya yang hanya sembilan dari 45 anggota DPRD yang mau menandatangani kontrak politik yang disodorkan oleh para aktifis yang tergabung dalam Kesatuan Asksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Melihat dari poin yang disodorkan kepada para wakil rakyat, pembentukan pemerintahan yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi poin yang selalu mencul dalam setiap draft kontrak politik, hal ini sangat menarik, karena masyarakat ternyata mendambakan hilangnya praktek-praktek yang selama ini menjadi kebiasaan para pejabat pemerintahan, yaitu KKN yang notabene sangat merugikan masyarakat banyak.
Secara substansial, kontrak politik yang dilakukan para aktifis mempunyai tujuan untuk menyadarkan dan mengingatkan (Parliament Watch) terhadap anggota legeslatif (DPR/DPRD) agar menjalankan tugas legislatif-nya dan peran penyambung aspirasi masyarakat dan apabila terjadi “penghianatan” maka masyarakat atau institusi yang melakukan kontrak politik bisa menuntut anggota dewan yang telah menandatangani draft kontrak politik. Namun hal ini apakah sesuai dengan sistem hukum yang ada di Indonesia. Bahwa kontrak politik tidaklah rasional dan tidak diatur dalam perundang-undangan. Namun, yang perlu dipahami dari banyaknya tuntutan agar wakil rakyat melakukan kontrak politik merupakan bentuk kepedulian masyarakat terhadap pemerintahan khususnya para wakil rakyat.dan ada beberapa hal yang melatarbelakangi terjadinya kontrak politik antara wakilrakyat dengan kontituenya. Pertama, warga masyarakat ingin mengingatkan agar wakil-wakilnya didewan sungguh-sungguh dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat. Kedua, warga masyarakat menginginkan wakil rakyat hasil pemilu 2004 lebih baik secara kualitas dibanding dengan wakil rakyat hasil pemilu 1999 yang dalam pemilu 2004 juga terpilih kembali. Dengan menandatangani kontrak politik, anggota legeslatif bersangkutan harus mampu merealisasikan segala tuntutan yang tecantum dalam draft kontrak politik yang telah ditandatangani.
Poin-poin yang terdapat dalam draft yang telah ditandatangani oleh para wakil rakyat harus menjadi salah satua agenda politik yang diperjuangkan dan direalisasikan oleh dewan yang telah menandatanganinya. Jika agenda politik tersebut tidak mampu diperjuangkan dan direalisasikan, mau tidak mau anggota dewan yang telah menandatangani harus rela meninggalkan kursi “empuk” dilegeslatif (mengundurkan diri). Secara yuridis ini tidak sesuai dengan aturan yang ada, artinya hanya partai politik yang bisa merecal (menarik) kadernya yang terpilih dan konstituen yang melakukan kontrak politik tidah memiliki dasar yuridis yang kuat untuk menuntut mundur. Karena hal ini akan bertentangan dengan peraturan perudangan yang berlaku. Dan ini akan menjadi hal yang baru namun cukup menjadi salah satu control moral bagi anggota dewan yang tidak bisa merealisasikan agenda politik yang merupakan aspirasi masyarakat.
Namun, dengan adanya kontrak politik tersebut sebenarnya bertentangan dengan fungsi legeslatif yang dimiliki oleh anggota dewan, dan perlu diingatkan bahwa wakil rakyat yang duduk dikursi dewan bukanlah wakil dari beberapa orang atau elemen saja, akan tetapi wakil dari seluruh rakyat. Dan tugasnyapun bukan hanya mewakili aspirasi dari masyarakat sebagian saja, namun wakil dari masyarakat luas. Sebab, elemen yang melakukan kontrak politik belum tentu mewakili aspirasi masyarakat secara keseluruhan. Justru dengan adanya kontrak politik antara para aktifis ataupun yang mengatasnamakan elemen masyarakat akan menimbulkan pertanyaan, atas nama masyarakat atau atas nama mereka sendiri meraka melakukan kontrak politik, kalau atas nama masyarakat, masyarakat yang mana ?. Padahal dengan pemilihan umum yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah merupakan sebuah kontrak politik yang di atur dengan undang-undang no. 12 tahun 2003, karena hanya dengan pemilulah mereka bisa menduduki kursi (DPR/DPRD) dan ini yang disebut penyerahan mandat oleh masyarakat kepada para wakilnya.
Istilah “kontrak politik” sebenarnya masih sangat aneh dan janggal jika dihubungkan dengan posisi anggota legeslatif jika kontrak politik diartikan dengan mengambil alih posisi legeslatif dan juga istilah tersebut sangat kontradiktif dengan peran, fungsi, posisi dan tanggung jawab legeslatif. Hal ini dikarenakan ketika kita memilih mereka adalah agar menjadi “corong” untuk kepentingan masyarakat dalam membela kebenaran, keadilan, demokrasi, hak asasi manusia dan sebagainya.
Oleh karena itulah sebenarnya kontrak politik tidak perlu lagi dilakukan oleh beberapa elemen yang mengatasnamakan masyarakat, karena setiap anggota dewan memang sudah wajib untuk membawa dan menyuarakan aspirasi konstituennya dan mereka juga harus ikut merasakan penderitaan, air mata dan cucuran keringat yang dialami masyarakat yang menjadi konstituennya. Kewajiban tersebut harus benar-benar diterapkan sejak mereka mengucapkan “sumpah dewan “ yang dibacakan dalam prosesi pelantikan anggota dewan.
Anggota dewan hasil pemilu 5 april 2004 berpotensi lebih menonjol daripada anggota legeslatif hasil pemilu 1999, hal ini dikarenakan anggota legeslatif hasil pemilu 5 april 2004 adalah hasil pemilihan langsung dari masyarakat, sehingga hasilnya benar-benar murni pilihan rakyat, maka tidak ada alasan untuk tidak mendengarkan aspirasi dari masyarakat. Pemerintahan yang bersih dan berwibawa akan terus menjadi impian masyarakat indonesia dan saatnyalah anggota legeslatif harus berfungsi sebagai “hero” bagi rakyat sehingga masyarakat tidak lagi menjadi “sapi perahan” bagi kaum penguasa
* Mahasiswa S-1 Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Koordinator Jurnalistik IMM SUPREMASI Hukum UMM.
No comments:
Post a Comment