Wednesday, October 05, 2005

1 oktober pancasila tidak agi sakti

1 OKTOBER HARI PANCASILA TIDAK LAGI SAKTI
Oleh : Teguh Adminto*

Rencana pemerintah menaikan harga BBM pada 1 Oktober merupakan sejarah kedua bagi bangsa Indonesia. Seperti tahun lalu Indonesia masih memperingati 1 Oktober sebagai hari kesaktian Pancasila, Karena Pancasila masih kembali berjaya setelah peristiwa G30S yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia. Dan sebenarnya kembalinya Pancasila kepangkuan ibu Pertiwi adalah bukan karena kesaktian Pancasila tetapi karena karunia Tuhan. Oleh karena itu seharusnya bangsa Indonesia mensyukurinya dengan menamakan hari tersebut sebagai Hari Syukur Nasional.
Rasa syukur yang seharusnya diperingati oleh masyarakat Indonesia berubah drastis menjadi sebuah “tsunami” kedua yang mengoyak perekonomian rakyat. Kenaikan BBM yang di “paksakan” oleh pemerintah merupakan pil pahit yang harus dirasakan lebih dari 15,6 Juta KK atau sekitar 62 juta penduduk. (versi BPS). Padahal kenaikan harga BBM belum lama dilakukan oleh pemerintahan SBY-KALA.

1 Oktober 2000
Kita masih belum lupa tanggal 1 Oktober 2000 pada masa pemerintahan Gus Dur juga telah terjadi aksi demo besar-besaran untuk menolak kenaikan harga BBM, begitupun pada masa Megawati memegang kekuasaan. Sangat ironis ketika masyarakat Indonesia seharusnya menyambut rasa syukur atas tumbangnya pemberontakan PKI harus merasakan pemberontakan dari pemerintah sendiri.
Padahal pemerintah sangat tahu bahwa masyarakat Indonesia masih belum sembuh dari trauma atas kenaikan harga akibat naiknya harga BBM beberapa bulan yang lalu. Dan yang membuat masyarakat semakin panik adalah hilangnya BBM dari pasaran ketika issu kenaikan mulai menyebar, sehingga masyarakat harus mengantri berjam-jam untuk mendapatkan 5 liter minyak tanah dan bensin. Ketika penulis pada hari rabu (28/9) sedang ikut mengantri di daerah Mojosari (Jawa Timur) melihat seorang laki-laki tua membawa jerigen kecil berkapasitas 5 liter ditolak oleh petugas dengan alasan tidak boleh membeli solar dan bensin menggunakan jerigen. Padahal hanya membutuhkan lima liter solar untuk menyalakan mesin dieselnya untuk mengairi ladangnya. Apalah arti lima liter bagi masyarakat kecil, padahal di lawe-lawe penyelundupan minyak yang jumlahnya beribu-ribu ton dan terjadi bertahun-tahun toh dibiarkan saja.
Itu merupakan salah satu contoh yang dialami masyarakat kecil. Masyarakat Indonesia yang sedang mengalami sakit kronis yang ingin hidup tetapi “seolah-olah” sudah tidak boleh menikmati hidup lagi. Dan kita hanya bisa menanti rahmatan dari Tuhan saja seperti hancurnya pemberontakan kaum komunis di Indonesia. Mengharapkan dari pemerintah merekalah yang menjadi pemeras dan pendzolim rakyatnya, berharap pada alam juga telah dijarah oleh “oknum” pemerintah. Berharap pada orang tua, mereka juga miskin dan menderita akibat kebijakan pemerintah. Ingat pemerintah masih mensubsidi Bahan Bakar Minyak kita yang jumlahnya sekitar Rp.800,- per liter sehingga klau di kalkulasi jumlahnya mencapai 98 triliyun untuk tiga bulan kedepan. Dan hal ini akan berimbas adanya kenaikan harga lagi yang waktunya belum kita ketahui. Karena harga yang sekarang diterapkan sekarang masih berada di bawah harga minyak dunia. Artinya pemerintah akan menyamakan harga minyak nasional dengan harga minyak di pasar dunia.
Sekarang harga minyak tanah sudah mencapai Rp.2.000,- per liter, bensin Rp.4.500,- per liter, solar Rp.4.300,-. Kenaikan harga yang mencpai 50% ini sangat menyengsarakan rakyat kecil, tapi kita bisa berbuat apa. Toh kita hanya bisa merasakan kemiskinan yang semakin kronis. Berapa juta lagi kaum kita akan bertambah banyak. Jangan-jangan kita akan memecahkan negara Etiopia atau Somalia. Anak ayam mati di dalam lumbung padi.

Pancasila vs pancasiksa
Terimakasih kami ucapkan kepada para pahlawan yang telah mencurahkan idealismenya tentang bangsa ini kedalam sebuah rangkaian kalimat-kalimat sakral yang sampai saat ini masih menyimpan kesakralanya itu, yaitu lima sila yang berisi tentang falsafah bangsa Indonesia. Seandainya sila-sila yang ada dijalankan secara murni dan konsekwen maka masyarakat Indonesia akan sangat bangga dengan bangsa Indonesia.
Sejak sekolah dasar kita selalu dibelajari tentang arti dan makna Pancasila, bahkan sampai perguruan tinggi masih ada yang memberikan materi kuliah Pancasila. Tidak dinafikkan bahwa Pancasila adalah ajaran ideologi yang sangat dicintai oleh bangsa Indonesia. “Bangga saya jadi bangsa Indonesia dengan Pancasila yang sangat idealis dan sempurna”, itu yang ada dibenak penulis pada waktu masih berada di sekolah dasar.
Bila kita ingat sila pertama berbunyi Ketuhanan yang Maha Esa, bukan itu yang kita lihat dari kenyataan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari bangsa ini. Semua yang ada di bangsa ini berjalan bila ada uang, bahkan kadang tuhan dinomor duakan. Mau cari uang dengan uang, mau buang air dengan uang, mau tidur dengan uang bahkan (maaf) matipun dengan uang. Apalagi kalau bukan Keuangan yang Maha Kuasa.
Hampir setiap hari di televisi dan surat kabar kita melihat terjadinya pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, penganiayaan bahkan bentrokan antar suporter ataopun mahasiswa/pelajar baik di daerah maupun di ibu kota. Ironisnya mereka diberi penalaran tentang Pancasila cukup lama dan matang dan bisa mengartikan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Apakah manusia Indonesia masih ada yang beradab, sulit mencari orang yang mempunyai pemimpin yang adil, bijaksana, berperadaban tinggi. Apa bedanya dengan kemanusiaan yang batil dan biadab.
Persatuan Indonesia bukan Persetruan Indonesia, walaupun banyak sekali konflik yang melanda bangsa ini mulai dari Aceh, Ambon, Papua dan Timor Leste (eks). Apa mau dikata Indonesia memang milik Jakarta dan Jakarta milik elit penguasa jadi pemangku adat hanya menerima getah saja dari ulah para penguasa. Jangan salahkan putra daerah yang ingin melepaskan diri dari NKRI jika mereka tidak mendapatkan hak yang sesungguhnya.
Ada apa dengan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, masihkah wakil rakyat menjadi lidah penyambung bagi para konstituennya. Jangan-jangan mereka hanya membesarkan anggaran belanja negara saja. Sehingga mereka bisa seenak perutnya sendiri mengenyangkan dan membesarkan perutnya. Barangkali sila ke-empat sudah berubah menjadi kerakyatan yang dipimpin oleh orang bejat untuk memberi kebijaksanaan dalam persekongkolan perwakilan.
Sedangkan pada sila yang kelima masihkah berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukankah keadilan hanya milik orang yang memiliki uang saja. Rakyat kecil mana bisa mendapatkan keadilan, ada paling sebuah kebatilan yang diberikan oleh para penguasa. Sepertinya sila kelima ini telah berubah bunyi. Mungkin menjadi kebatilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sungguh tragis nasibmu rakyat Indonesia.
Saatnya kita berjuang melawan para pengeruk harta bangsa, kita harus tegakan keadilan untuk seluruh masyarakat. Kita tidak boleh diam dengan adanya kezaliman yang merajalela di bumi Indonesia.

* Penulis adalah Mahasiswa S-1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, pemred buletin HIKMAH. email titto_arema@yahoo.com

No comments: