Wednesday, October 05, 2005

PROBLEMATIKA JUDICIAL RIVIEW DI INDONESIA

PROBLEMATIKA JUDICIAL RIVIEW DI INDONESIA
Oleh: Teguh Adminto*

A. Latar Belakang
Dengan diterbitkanya PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) Republik Indonesia nomor 1 tahun 1999, masyarakat semakin mudah untuk memngontrol setiap keputusan maupun kebijakan pemerintah yang berupa UUD 1945, Undang-Undang, Perpu, PP, Kepres dan Perda[1] yang sering kali dalam kebijakan tersebut tidak memihak bahkan merugikan masyarakat baik masyarakas secara keseluruhan maupun masyarakat secara kelompok.
Seperti diintrodusir oleh Sri Sumantri[2], bahwa hak uji dibagi menjadi dua hak untuk menguji (toetsingsrecht dan review) antara lain:
1. Hak menguji Formal (formale toetsingsrecht)
2. Hak menguji material (materiale toetsingsrecht)[3]
PERMA ini mengatur tentang pengajuan hak uji materiil terhadap UUD 1945, UU dan lain-lain lebih lanjutbdijel;askan dalam pasal 1 angka (1) PERMA tersebut yang berbunyi:
“Hak uji materiil adalah hak Mahkamah Agung untuk menguji secara materiil terhadap peraturan perundang-undangan, sehubungan dengan adanya gugatan atau permohonan keberatan”. Dan pada pasal 2 menjelaskan “Peraturan perundang-undangan adalah suatu peraturan yang mengikat umum dibawah Undang-undang”.[4]
Merujuk pasal 5 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1999, maka peraturan memberikan batas waktu untuk melakukan pengajuan /permohonan judicial riview selama 180 hari setelah diberlakukanya peraturan perundang-undanganyang bersangkutan. Maka demikian masyarakat yang merasa dirugikan berhak mengajukan permohonan keberatan.
Dalam hal keberatan adalah telah diatur dalam PERMA RI nomor 1 tahun 1999 pada pasal 1 angka (4) yang berbunyi sebagai berikut:
“Suatu permohonan yang berisi keberatan terhadap berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yang diduga bertentangan dngan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan diajukan ke Mahkamah Agung untuk mendapatkan putusan”.[5]
Dengan demikian apabila terjadi pada sebuah peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat dan dianggap bertent6angan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka masyarakat berhak untuk mengajukan permohonan Hak uji materiil kepada mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi tergantung peraturan apa yang akan diuji.
B. Permasalahan
Dalam pelaksanaan hak uji materiil sebenarnya siapakah yang berhak melakukan hak uji terhadap peratur an perundang-undangan apakah Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi ataukah Lembaga Yudikatif yang merupakan lembaga yang baru dan lebih berkompeten dalam bidangnya.
Selama proses penanganan Judicial Riview yang dilakukan oleh lembaga Mahkamah Agung selama ini apakah sudah sesuai dengan prosedur dan layak untuk dipertanggungjawabkan.
Hal inilah yang kemudian membangun inisiatif penulis untuk membahas dan mencoba mencari solusi dalam permasalahan tersebut dalam bab berikutnya yaitu bab Pembahasan.
A. Melakukan "Judicial Review" Undang-Undang Sebenarnya Hak Yudikatif
Ketetapan (Tap) MPR No III/ MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan yang memberikan kewenangan kepada MPR untuk melakukan judicial review (hak uji materiil) terhadap undang-undang (UU) dinilai tak tepat. Sebab kewenangan uji materiil adalah hak lembaga judikatif. Sebaiknya kewenangan menguji materiil UU itu diserahkan kepada Mahkamah Agung (MA) atau Mahkamah Konstitusi. Demikian benang merah yang dapat ditarik dari percakapan Kompas[6] secara terpisah dengan mantan anggota DPR Usamah Hisyam serta Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (Koalisi) Nursyahbani Katjasungkana di Jakarta hari Sabtu (19/8). Keduanya pun menyayangkan kegagalan Sidang Tahunan (ST) MPR tahun 2000 membentuk Mahkamah Konstitusi dan menyetujui pemberian wewenang menguji materi UU kepada MA. Pasal 5 Ayat (1) Tap III/MPR/ 2000 menyebutkan, Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sedangkan ayat (2) menyatakan, MA berwenang menguji materiil peraturan perundang- undangan di bawah UU. Tetapi tidak disebutkan, bagaimana mekanisme MPR melakukan judicial review terhadap UU itu. Tidak tepat Nursyahbani menyebutkan, pemberian hak uji materiil terhadap UU tidak tepat. Karena sesungguhnya pengawas perundang-undangan, adalah lembaga yudikatif. Apalagi, dalam Tap MPR No III/MPR/2000 itu tidak jelas mekanisme MPR melakukan uji materiil UU terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 atau Tap MPR. "Pemberian hak uji materiil kepada MPR itu tak jelas konsepnya. Ini mungkin dipacu, karena Komisi A MPR gagal menyetujui pembentukan Mahkamah Konstitusi.
Tetapi kalau MPR hanya diberikan hak, dan tidak jelas mekanismenya apa bisa dilakukan," tegas Nursyahbani, yang juga anggota MPR dari Fraksi Utusan Golongan (F-UG). Diingatkannya pula, sesuai Pasal 2 Ayat (3) UUD 1945 kewenangan MPR[7], adalah menetapkan UUD dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). "Kalau sekarang MPR menetapkan dirinya berwenang menguji UU, cantolannya apa ? Lebih baik kewenangan itu tidak diberikan, sambil menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi," papar Nursyahbani lagi. Senada, Usamah pun menyebutkan, judicial review adalah wewenang lembaga judikatif. Sebab itu, sebaiknya MPR "mengembalikan" wewenang hak uji materiil itu kepada MA dengan menambahkan, lembaga yudikatif tertinggi itu pun berwenang menguji materiil UU terhadap Tap MPR atau UUD. Hak uji materiil itu bisa dilakukan secara aktif, tidak harus melalui proses berperkara. "Terus terang, apa MPR masih memiliki waktu untuk melakukan uji materiil terhadap UU itu? Rasanya tidak. Jika uji materiil tersebut diserahkan kepada Badan Pekerja (BP) MPR, apakah mereka ahli menguji perundang-undangan? Rasanya juga tidak. Karena itu, lebih baik hak uji materiil itu diberikan kepada MA yang jelas lebih ahli di bidang hukum.
Apalagi, sekarang penunjukkan hakim agung harus sepersetujuan DPR," tandas Usamah, yang anggota Badan Penelitian dan Pengembangan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Usamah tidak mendukung pembentukan Mahkamah Konstitusi. Karena hanya akan menambah jumlah lembaga negara, tetapi belum pasti dapat bekerja dengan baik. Lebih baik, kewenangan judicial review terhadap UU pun diberikan
B. Penyelesaian Perkara Uji Materiil di Mahkamah Agung Masih Lamban
Selama diakhir penghujung 2004 tidak ada sama sekali perkara uji materiil yang putusannya tercatat di register Tata Usaha Negara. Penyelesaian permohonan uji materiil terkesan lamban padahal banyak yang harus diputus segera.
Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Firmansyah Arifin menyayangkan lambannya Mahkamah Agung (MA) dalam memutus permohonan uji materiil peraturan di bawah undang-undang.
Kelambanan tersebut mungkin ada benarnya. Investigasi yang dilakukan hukumonline menunjukkan bahwa sepanjang November – Desember 2004 tidak ada satu pun putusan uji materiil yang tercatat di register Tata Usaha Negara (TUN). Padahal, setiap bulan selalu ada permohonan baru yang masuk.
Pada Oktober 2004, misalnya, tercatat ada 127 perkara hak uji materiil. Pada bulan tersebut tidak ada yang putus, namun ada dua permohonan baru yang masuk. Bulan November ada 6 (enam) dan Desember ada 2 (dua) permohonan baru yang tercatat. Sayang, tak satu pun perkara lama dan baru yang tercatat sudah putus.
Hingga akhir 2004, MA masih harus menangani 137 perkara permohonan hak uji materiil. Jumlah yang hampir sama dengan akhir tahun 2003, dimana pada awal bulan sisa perkara berjumlah 127. Hingga akhir tahun masih tersisa 125 perkara. Dengan demikian, hanya ada dua perkara yang diputus.

Berdasarkan data itu pula Firmansyah sampai pada kesimpulan, hampir tidak ada pembaruan internal di MA sepanjang menyangkut penanganan perkara uji materiil. “Untuk perkara uji materiil, nyaris tidak ada pembaruan di MA untuk memanage perkara yang masuk,” ujarnya.

Dalam Laporan Kegiatan Mahkamah Agung RI Tahun 2003-2004, khusus pada bagian penyelesaian perkara, uji materiil tidak disinggung sama sekali. Program mendorong dipenuhinya formasi jumlah hakim agung disebut hanya untuk meningkatkan kinerja MA dalam menangani perkara kasasi dan peninjauan kembali.

Kepala Subdirektorat Kasasi/Peninjauan Kembali (PK) TUN Abdul Manan membenarkan data tadi. Tetapi menurut dia. Itu bukan berarti tidak ada yang diputus sama sekali. Mungkin saja majelis hakim agung sudah memutus, tetapi karena masih harus diteliti ulang maka belum tercatat di register TUN. Bisa pula sudah diputus, tetapi karena belum disampaikan kepada para pihak, seolah-olah MA belum memutus.

Fungsi MA menangani perkara uji materiil disebut dalam pasal 31 Undang-Undang No. 5 Tahun 2004. Berdasarkan pasal ini:
1. MA mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap undang-undang
2. MA menyatakan tidak sah peraturan di bawah Undang-Undang atas alas an bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku;
3. Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil berhubungan dengan pemeriksaan tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung ke MA;
4. Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dimuat dalam Berita Negara RI dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak putusan diucapkan

Demikian pembahasan tentang hak uji materiil tentang kewengan dan prosedur pengajuan judicial riview terhadap peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. yang dalam undang-undang nomor 10 tahun 2004 ternatng penyusunan peraturan perundang-undangan secara hirarkis sebagai berikut:
Undang-undang Dasar 1945
Undang-undang
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Keputusan Presiden
Peraturan Daerah
Untuk itulah lembaga yang sebenarnya kewenangan yang berhak untuk melakukan hak uji atas peraturan perundang-undangan adalah Mahkamah Konstitusi untuk Undang-undang keatas sesuai garis hirarkis dan Mahkamah Agung untuk Peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang.

* Penulis adalah Assisten Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum (LKPH) Fakultas Hukum UMM




[1] Lihat Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang peraturan pembuatan perundangan pasal 7
[2] Lihat R. Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia,hal: 100
[3] hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai, apakah dalam pembentukan peraturan peundang-undangan tersebut sudah sesuai dengan prosedur yangt jelas dan tepat dan hak menguji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakahy suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
[4] Lihat Sri suparyati, Judicial Review bagi Perppu anti Terorisme,LSPP,KONTRAS, Imparsial, KUKMS, hal vi
[5] Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA RI) nomor 1 tahun 1999
[6] Kompas, wawancara dengan beberapa anggota MPR/DPR berkaitan dengan Hak Uji Materiil
[7] Lihat Undang-undang Dasar 1945 Republik Indonesia

No comments: