Sunday, January 22, 2006

WAJAH SINETRON REMAJA INDONESIA

Oleh Teguh Adminto*

Salah satu bagian seni yang memiliki pangsa penikmat terbanyak adalah sinetron. Karena itu merupakan suatu kewajiban kepada para insan seni persinetronan untuk selalu berkreatif membuat seni yang menjadi konsumsi publik. Baik dalam posisi sebagai sutradara artis dan sebagainya. Tapi sangat disayangkan, meskipun cukup banyak sinetron Indonesia ditanyangkan di media kaca, gregetnya masih saja kalah dari sinetron-sinetron luar.
Keprihatinan muncul ketika di sekeliling kita ternyata banyak fenomena yang kontras sekali dengan apa yang selalu kita lihat dalam layar kaca kita. Ironis, memang antara kehidupan maya yang ada dalam sinetron kita dengan relaita kehidupan yang ada di depan mata kita.
Jadi ingat dengan sinetron ACI (Aku Cinta Indonesia) yang ditayangkan ketika penulis masih berada dibangku Sekolah Dasar. Sungguh suguhan yang membawakan keluguan anak bangsa yang sedang giat belajar dan berkembang dengan usianya yang masih belia untuk mengisi kemerdekaan bangsa. Nilai moral yang di sisipkan sungguh mengena dengan psykologi anak bangsa yang sedang merajut asa menggapai masa depannya. Tentunya dalam ingatan kita masih segar dengan kisah keluarga cemara yang menjadi tontonan menarik dan gaya lugu sebuah keluarga yang tiba-tiba menjadi miskin. Tentunya kita sepakat jika dalam seguhan-suguhan yang muncul di layar kaca kita adalah suguhan yang mengedepankan sisi moral dan etika bangsa yang baik.

Sinetron Bermartabat
Hampir seluruh sinetron yang ditayangkan di layar kaca kita bertemakan hangar bingarnya kehidupan remaja, perselingkuhan, broken home, kekerasan, dan yang terbaru adalah mistik. Dan yang lebih aneh lagi tokoh yang ada di dalam sinetron-sinetron remaja itu bukanlah seorang remaja, lebih terkesan tokoh dewasa yang dibuat kekanak-kanakan dan para pemainnya adalah anak-anak yang dipaksa untuk dewasa.
Tema sinetron remaja kita saat ini tidak jauh dari soal remaja cewek yang berebut cowok-cowok yang menjadi idola atau sebaliknya, persaingan untuk menjadi orang beken di sekolah, pamer kekayaan orang tua ke sekolah, seragam sekolah yang superketat dan mini, takhayul, kehidupan yang glamour, cerita yang tidak mungkin terjadi di dunia nyata, dan peran orang tuanya berebut harta warisan.
Mungkin cerita-cerita itu memang ada dalam kenyataan, hanya saja presentasinya sangat sedikit. Kenapa mereka para pemilik Production House, sutradara dan penulis sekenario tidak berusaha menggali hal-hal positif di dunia remaja dan menampilkannya dalam sinetron yang dikemas dengan cerita yang menarik tapi sisi edukasinya tetap ditonjolkan. Sangat jarang cerita yang ditampilkan mengenai kesetiakawanan yang tulus, hormat kepada guru, tawa-canda ceria khas anak SD/SMP/SMU, semangat untuk merancang masa depannya, serunya kegiatan ekskul, serunya persaingan ranking kelas, serunya class meeting, atau menyentuhnya kisah perjuangan anak dari desa yang ingin tetap sekolah di kota.
Ada semacam kekhawatiran yang dengan dampak yang muncul akibat terlalu seringnya remaja kita yang mengkonsumsi tema-tema yang tidak mendidik dan akan mengakibatkan adik-adik kita yang masih sekolah menganggap cerita dan tokoh-tokoh di sinetron adalah sesuatu yang baik untuk ditiru, menganggap wajar dan memang seperti itulah dunia sekolah kita. Hal ini di pengaruhi ketokohan para pemain sinetron yang dianggap sebagai kiblat dari kehidupan remaja.
Tapi ada satu posisi tawar yang kuat dari para penonton untuk para Production house bikin sinetron, sinetron dibeli sama stasiun TV, operasional stasiun TV dibiayai oleh iklan, produk iklan dibeli oleh konsumen yang hampir seluruhnya adalah juga penonton TV. Jadi penonton TV yang bisa disamadengankan konsumen produk, menurut hemat penulis bisa menuntut TV untuk memberikan tontonan yang edukatif
Berbeda dengan tampilan Bajai Bajuri yang hampir setiap sore ditayangkan di Transtv selalu mendapatkan tempat tersendiri di hati para pemirsanya. Hal ini di karenakan tema yang diangkat dalam sinetron yang dibintangi Mat Solar dan Rieke Diyah Pitaloka ini sangat sederhana dan mengena dalam realita kehidupan dimasyarakat. Atau sinetron yang dikembangkan dari layar lebar kiamat sudah dekat yang disutradarai oleh Dedi Miswar, sangatlah dekat dengan kebiasaan hidup masyarakat betawi, sehingga alur ceritanya mudah diikuti, sinetron lain yang cukup mengena adalah Si Doel Anak Betawi yang merupakan adopsi dari kehidupan nyata masyarakat Betawi.
Seharusnya para pesinetron Indonesia melakukan suatu revolusi baik secara ideologi maupun tematik. Kedepan sinetron kita memang harus disikapi secara cerdas, artinya bagaimana caranya mengompromikan idealisme dan selera pasar. Mengawinkan yang bermartabat dan memiliki nilai jual di pasaran.
Jika kita amati lebih jauh, bahwa sinetron Indonesia tak lagi berwajah Indonesia. Selain itu, meminjam istilah Dr B Herry Priyono, sinetron Indonesia mengidap klise massal. Yakni hidup dalam kultur selebriti, mengkultuskan gaya hidup, serta penggerusan kapasitas berpikir.
Yang lebih mengkhawatirkan bahwa model sinetron seperti yang ada sekaranglah yang digilai masyarakat. Itu terjadi karena kita hidup dalam gejala "Mc-World", yakni atmosfer kehidupan yang diwarnai pola penyeragaman. Kedua, lantaran ketiadaan ideologi "kembali ke bumi". Dan ketiga, kita tidak mampu membedakan realitas sosial, realitas virtual, dan realitas iklan.

Masih terpuruk
Siapa yang tidak mengenal Meteor Garden dengan F4-nya. Dengan cerita klise yang dikemas sedemikan apik, ternyata mampu membuat penonton di Indonesia seperti terhipnotis. Tidak hanya anak-anak, remaja, dewasa, bahkan orang tua pun begitu menikmatinya. Konon dengan jam tayang yang terlalu larut, tetap saja tidak masalah bagi para penonton. Artinya, bagaimana pun caranya mereka tetap bertahan menuggu sampai malam.
Anehnya, film percintaan remaja begitu, tidak hanya habis pada masa jam tayangnya saja, melainkan terealisasi ke dunia nyata. Akhirnya bermunculanlah wajah-wajah cute dari F4, baik di peralatan sekolah sampai pakaian. Mode rambut rambut pun ikut-ikutan terkontaminasi. Style remaja sama sekali bisa diubah. Yakni dengan gaya F4 yang cuek, celana gomrang, plus kalau berjalan suka memasukan kedua belah tangan ke dalam kantong celana.
Padahal dibandingkan sinetron Indonesia, tema yang dimunculkan Meteor Garden tidaklah terlalu hebat. Hanya persoalan kisah cinta sepasang remaja yang berbeda status kehidupannya. Statusnya kaya dan yang miskin. Sementara lokasi syuting dan efek-efek pendukung pembuatan sinetron Meteor Garden kelihatan tidak amat spesifik. Hanya berkisar di rumah, kampus, taman atau sesekali di lapangan terbang. Lalu mengapa kekuatannya mampu menghipnotis sekian juta penonton, sekaligus mempengaruhi penampilan mereka?
Sebenarnya apa yang ditampilkan telenovela atau sinetron Mandarin, pada dasarnya memang merupakan pengadopsian dari ke hidupan masyarakatnya sehari-hari. Kehidupan mereka kebanyakan sudah mapan. Cenderung berbau jet zet. Maka ketika kisah kehidupan kaum menengah ke atas itu dikemas dalam bentuk sinetron, maka yang mencuat pada diri artisnya tidaklah mengada-ada. Artinya, mereka dapat mencalonkan peran masing-masing tanpa canggung. Dan cara pandang mereka tentang hidup dan penghidupan, sama seperti yang tertuang dalam sinetron-sinetron (telenovela) tersebut.
Lain dengan sinetron Indonesia. Tema-tema yang borjuis serta dibumbui kekayaan berlimpah-ruah, kelihatan cukup hambar. Karena artis yang memerankannya cenderung memaksakan diri. Lagi pula apa yang dikemas dalam sinetron tersebut, amat berlainan dengan yang terjadi di dunia nyata.
Kehidupan selebritis di dunia sinetron yang "wah", ternyata hanya segelintir kecil ada di dunia nyata. Maksudnya sinetron-sinetron yang kebanyakan menceritakan kehidupan orang-orang the have tersebut, tidaklah menyenangkan hati penonton. Sebab secara realita masyarakat Indonesia masih miskin, dan tidak berselera menonton sinetron yang cenderung mengada-ada itu. Belum lagi tema-tema berbau kriminal, sangat tidak disenangi para penonton. Dengan menculnya tokoh-tokoh jahat, penebar permusuhan, siasat licik, telah membuat sedemikian banyak pemirsanya sedikit kesal. Karena mereka tahu, watak manusia Indonesia kebanyakan tidaklah demikan. Masyarakat kita terkenal santun, saling menghormati, sekaligus suka menolong. Lalu mengapa sikap-sikap beringas tersebut terus dipompakan kepada masyarakat melalui sinetron.
Kesimpulannya apa yang dituangkan dalam sinetron Indonesia haruslah sederhana, ringan dan mudah dicerna. Sebab masyarakat kita sekarang ini sudah bosan dengan konflik, perdebatan, bahkan dengan berbagai persoalan hidup yang rumit. Jadi tidak ada salahnya memberikan mereka cerita segar, riang, sederhana yang tidak membuat emosi mereka semakin teraduk-aduk di tengah kehidupan bernegara yang kacau.
Ada suatu harapan dalam benak saya agar masyarakat bisa menyadari bahwa kebanyakan tontonan terutama sinetron berisi murni hiburan (bagi sebagian orang) yang isinya jarang sekali bersifat edukatif malah cenderung destruktif terhadap pendidikan moral. Jika banyak orang yang peduli tentang itu, kita bisa berharap bahwa nantinya kita bisa menuntut, bukan sebagai penonton, tetapi sebagai konsumen produk yang membiayai operasional stasiun TV. Dan satu hal yang cukup penting, "bukanlah sesuatu yang tidak mungkin untuk memberikan tontonan menghibur tapi sekaligus mendidik".

* Mahasiswa Hukum Universitas Muhammadiyah Malang juga asisten BKBH-UMM. E-mail: titto_arema@yahoo.com.

PENYELESAIAN DENGAN MEDIASI LEBIH EFESIEN

oleh : Teguh Adminto *
Discription
Dilihat dari alasan pembuatan Perma ini yang terlihat dalam hal konsideran menimbang Perma tersebut memasukan mediasi kedalam suatu proses beracara dipengadilan yang menjadi alternative dalam penyelesaian sengketa guna untuk mengurangi menumpuknya perkara di pengadilan. Kemudian diharapkan dengan adanya alternative mediasi tersebut akan memunculkan dampak yang baik dari penyelesaian sengketa tersebut. Dengan jargon proses penyelesaian cepat dan murah serta lebih memberikan kesempatan kepada para pihak yang bersengketa untuk memdapatkan keadilan yang dicarinya dari kedua belah pihak yang bersengketa.
Dengan sistem baru diharapkan penyelesaian sengketa yang menggunakan sistim memutuskan perkara (Ajudukatif) untuk lebih diefektifkan menjadi penyelesaian sengketa yang tidak menimbulkan banyak implikasi terhadap para pihak yang bersengketa.
Mengingat Surat Edaran Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama untuk menerapkan lembaga damai belum lengkap dan masih perlu untuk disempurnakan.
Dengan menggunakan sarana mediasi dalam penyelesaian sengketa diharapkan terjadinya sebuah penyelesaian dengan mempertimbangkan implikasi yang akan muncul dari penyelesaian sengketa. Dengan maksud penyelesaian dengan cara mediasi akan muncul sebuah solusi dan penyelesaian sengketa dengan damai dan memuaskan semua pihak dalam Pengadilan Tingkat Pertama.
Maka diterbitkanlah Peraturan Mahkamah Agung yang diharapkan bisa mengisi kekosongan peraturan mengenai hal tersebut demi tercapainya kepastian, ketertiban dan kelancaran dalam penyelesaian dan mendamaikan para pihak yang bersengketa dalam hal perdata.
Untuk menyelesaikan perkara perdata pada pengadilan tingkat pertama wajib didahulukan dengan upaya damai dengan menggunakan mediator[1], jika dalam upaya mediasi sudah tidak menemukan titik temu antara kedua belah pihak yang beperkara, maka proses peradilan bisa dilanjutkan.
Tahap pra mediasi kedua belah pihak beperkara harus hadir dalam sidang yang kemudian hakim menawarkan kepada para pihak untuk menyelesaikan perkara dengan jalan mediasi dan hakim menunda sidang dan ketika itu juga hakim memberikan mengenai mediasi kepada para pihak sehingga jelas dan paham mengenai mekanisme mediasi, biaya, prosedurnya dan lain-lain. Dan hal para pihak memberikan kuasa kepada para kuasa hukumnya, kuasa hukum wajib memperoleh persetujuan dari para pihak dalam hal pengambilan keputusan.
Dalam waktu satu kali hari kerja setelah sidang yang pertama, para pihak atau kuasa hukumnya wajib berunding untuk menentukan mediator yang akan digunakan, baik yang terdaftar di pengadilan maupun yang diluar pengadilan. Jika hal itu belum terpenuhi sementara jatuh tempo satu hari pertama para pihak belum mendapatkan mediator yang dipilih dan dispakati, maka majelis hakim pemeriksa perkara berhak untuk menunjuk salah satu mediator yang terdaftar dalam Pengadilan Negeri untuk menjadi mediator mereka. Dan Majelis Hakim yang menangani perkara tersebut dilarang bertindak menjadi mediator perkara persebut.
Adapun waktu yang diberikan untuk menyelesaikan perkara dengan menggunakan mediator dari daftar yang ada pada pengadilan, maka mereka wajib menyelesaikan perkara tersebut dalam waktu tiga puluh hari kerja setelah sidang pertama. Jika terjadi kesepakatan mereka bisa meminta penetapan dengan suatu akta perdamainan dan jika tidak dikehendaki adanya akta perdamaian pihak penggugat wajib mencabut gugatannya.
Mediator yang dimaksud adalah dari kalangan hakim dan kalangan non hakim yang memiliki sertifikat sebagai mediator[2]. Dan dalam setiap Pengadilan Tingkat Pertama biasanya memiliki paling sedikit dua orang mediator yang data dan daftar riwayat hidupnya dimiliki oleh pengadilan setempat.
Semua mediator wajib mentaati prosedur yang ada dan diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung.
Dalam rangka memepermudah jalannya mediasi para pihak, maka para pihak wajib menyerahkan berkas dan dokumen yang berhubungan dengan perkara kepada mediator untuk mempelajari lebih jauh perkara yang sedang dihadapi. Karena ketika mediator sudah mengetahui duduk perkaranya maka akan lebih mudah dalam mengarahkan penyelesaian perkara tersebut.
Dalam proses perjalanan mediasi tersebut mediator menentukan jadwal pertemuan para pihak untuk memulai perundingan dan dalam proses tersebut para pihak dapat didampingi oleh penasihat hukum, namun tetap penasihat hukum dalam mengambil keputusan harus mendapatkan persetujuan dari para pihak.
Untuk mempermudah penyelesaian perkara tersebut para pihak diharapkan untuk menelusuri kasus yang mereka hadapi dan berusaha mencari penyelesaian yang lain dalam rangka mencari penyelesaian yang tidak merugikan salah satu pihak atau pihak lain. Dan mediator hanya diberi kesempatan menyelesaikan perkara dalam tempo dua puluh dua hari kerja sejak pemilihan mediator. Namun tidak menutup kemungkinan perkara tersebut tidak menemui titik temu yang diharapkan.
Untuk mempermudah penyelesaian perkara mediator dengan persetujuan para pihak atau penasihat hukumnya untuk mendatangkan ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelaskan atau pertimbangkan yang kemungkinan akan membantu dalam penyelesaian perkara tersebut.
Mengenai pembiayaan terhadap para ahli yang didatangkan, maka itu akan dibebankan kepada para pihak yang bersengketa berdasarkan kesepakatan bersama.
Selanjutnya jika dalam proses mediasi tersebut menghasilkan kesepakatan antar para pihak mediator membantu merumuskan secara tertulis kesepakatan yang sudah dicapi yang kemudian ditandatangani oleh para pihak. Dalam kesepakatan tersebut wajib dicantumkan klausul mengenai pencabutan perkara dari pengadilan dan perkara di anggap selesai. Isi kesepakatan tersebut harus diperiksa ulang untuk mengantisipasi adanya klausul yang bertentangan dengan kaidah hukum, untuk kemudian para pihak menghadap kembali ke majelis hakim untuk menyampaikan telah terjadinya sebuah kesepakatan yang kemudian hasil kesepakatan tersebut dikukuhkan oleh hakim menjadi akta perdamaian.
Jika proses mediasi tersebut tidak menghasilkan kesepakatan yang final antara para pihak, maka mediator harus melaporkan kepada majelis hakim yang kemudian hakim melanjutkan proses hukum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Segala yang bersangkutan dengan proses mediasi tidak berlaku dihadapkan sidang, serta dokumen-dokumen hasil dari mediasi yang tidak menghasilkan sebuah kesepakatan wajib untuk dimusnahkan. Kemudian dalam proses persidangan mediator tidak bisa didatangkan menjadi saksi dalam persidangan perkara tersebut.
Proses mediasi adalah bersifat tertutup bagi publik, kecuali para pihak menghendakinya untuk proses tersebut terbuka untuk umum. Namun untuk masalah yang berkaitan dengan masalah publik proses mediasi bersifat terbuka untuk umum.
Untuk tempat diselenggarakannya proses mediasi bisa digunakan ruang pengadilan pada pengadilan tingkat pertama atau tempat lain yang disepakati oleh para pihak yang beperkara. Untuk penggunaan ruang dan fasilitas pengadilan tidak dipungut biaya sedangkan untuk penyelenggaraan ditempat lain maka biaya dan lain-lain akan ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan.
Penggunaan hakim sebagai mediator dalam penyelesaian perkara tidak akan dikenakan biaya, namun jika para pihak menggunakan mediator yang bukan hakim maka biaya akan ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan bersama, kecuali para pihak tidak mampu.
Dengan berlakunya Peraturan Mahkamah Agung ini akan menghapuskan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2002 tentang pemberdayaan peradilan tingkat pertama menerapkan lembaga damai.
Perma yang ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung ini akan berlaku sejak tanggal ditetapkan yaitu tanggal 11 September 2003 di Jakarta.

Peluang ke Depan
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan menetapkan bahwa sebelum masuk pada proses hokum di pengadilan para pihak yang bersengketa akan ditawari proses mediasi sebelum mereka melanjutkan proses peradilan. Ide mediasi ini muncul untuk mengantisipasi menumpuknya perkara di Mahkamah Agung yang jumlahnya ribuan. Dari sekitar 16.000 perkara kasasi dan Peninjauan Kembali (PK) yang masuk, yang dapat diselesaikan oleh MA hanya 8.500-an perkara.
Yang perlu kita kemukakan kenapa yang bisa ditangani hanya terbatas pada perkara perdata saja? Kenapa tidak pada perkara-perkara yang lain yang memungkinkan untuk diselesaikan dengan cara mediasi. Bukankah dengan sistem mediasi yang kita terapkan akan lebih efisien dan cepat dalam penyelesaian perkara.
Tidak menutup kemungkinan dalam proses mediasi akan melibatkan penasihat hukum dari para pihak yang bersengketa dan menanggapi permasalahan itu maka dinilai perlu ada surat kuasa khusus untuk pengacara yang akan mengadakan perdamaian dengan pihak lawan. Pasalnya, setiap langkah yang diambil pengacara harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari kliennya.
Hal ini lebih jelas kita lihat dalam pasal 3 ayat (4) Perma Nomor 2 tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (Perma Mediasi) diatur bahwa setiap keputusan yang diambil dalam proses mediasi oleh pengacara yang menjadi kuasa hukum para pihak, harus mendapat persetujuan pemberi kuasa.
Setelah Perma Nomor 2 tahun 2003 berlaku sejak 11 September 2003, rencananya akan ada empat Pengadilan Negeri yang akan menjadi proyek percontohan bagi proses mediasi. Keempat Pengadilan Negeri tersebut adalah Pengadilan Negeri Jakakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Bengkalis, dan Pengadilan Negeri Padang.
Dengan demikian akan menjadikan pertimbangan (semoga) bagi Mahkamah Agung untuk menambahkan pemberlakuan perma tersebut kepada Pengadilan-pengadilan tingkat pertama di seluruh kota-kota besar menjadi proyek percontohan agar dengan berlakunya perma ini akan efektif dimasyarakat.
Dan bukan hanya di pengadilan saja, namun di lembaga-lembaga advokasi untuk disosialisasi mengenai perma ini, agar seorang advokat juga bisa berperan menjadi mediator dalam penyelesaian perkara.
Dalam sebuah proses mediasi, peran mediator hanya fasilitator saja, karena pada dasarnya pihak-pihak yang berperkaralah yang akan berunding untuk menemukan cara-cara penyelesaian perkara yang merupakan win-win solution. Dan peran mediator tidak boleh lebih dari itu, ketika mediator sudah berpihak kepada salah satu pihak maka rusak citra mediator di mata publik.
Sejak Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan ditetapkan pada 11 September 2003, semua perkara perdata di pengadilan negeri diwajibkan untuk menjalani proses mediasi sebelum disidangkan. Diharapkan, dengan melalui proses mediasi terlebih dahulu, pihak yang bersengketa dapat mengupayakan jalan damai terlebih dahulu. Kalau mediasi berhasil, otomatis perkara yang masuk ke pengadilan jumlahnya akan berkurang.
Untuk para mediator seharusnya bukan cuma sekedar netral, tapi harus aktif dalam upaya menyeleasikan perkara yang dihadapi. Dan saya pikir dalam penyelesaian perkara dan kita berada pada pihak mediator prinsip dasar yang harus dipakai dalam mediasi adalah semua pihak yang terlibat harus ikhlas mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran. Itu berlaku baik pada kuasa hukum bukan hanya pada hakim mediator
Kita berharap bahwa sistem mediasi yang ada bisa lebih efektif, produktif, dan tidak menimbulkan gesekan baru, yaitu sistem mediasi tertutup. Dalam sistem tertutup ini, apa yang diinginkan oleh para pihak tidak dibuka pada awal mediasi.
Sedangkan untuk para mediator-mediator yang menangani berbagai perkara tentunya terdiri dari berbagai multi disiplin sesuai dengan kebutuhan pasar. Dan sebagian besar dari mereka adalah berprofesi sebagai pengacara, namun ada pula yang berlatar belakang perbankan, asuransi, teknik sipil, manajemen, keuangan.
Adapun untuk wadah para mediator maka dibentuklah sebuah wadah yang sering disebut dengan Pusat Mediasi Nasional (PNM) yangberpusat di Jakarta dan lembaga ini menyedikan mediator dari berbagai disiplin ilmu agar klien dapat memilih mediator yang memahami bidang yang menjadi sengketa.
Untuk kalangan non hakim yang akan menjadi mediator maka harus memiliki Sertifikat mediator, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (10) Perma, adalah dokumen yang menyatakan bahwa seseorang telah mengikuti pelatihan atau pendidikan mediasi yang dikeluarkan oleh lembaga yang telah diakreditasi oleh Mahkamah Agung. Artinya, selain dapat melakukan mediasi diluar pengadilan, mediator lulusan PMN juga akan masuk dalam daftar mediator di Pengadilan.
Sebagai lembaga yang terbilang masih baru, maka lembaga mediasi harus disosialisasikan kepada seluruh kalangan masyarakat baik masyarakat atas maopun masyarakat bawah. Dari sini diharapkan masyarkat akan lebih paham dan mengerti tentang keberadaan lembaga mediasi ini, dan diharapkan masyarakat akan menggunakan lembaga ini dalam setiap menyelesaikan perkara perdata.





DAFTAR PUSTAKA

­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­___________, Empat Pengadilan Negeri Jadi Percontohan Proses Mediasi di Pengadilan, http://www.kompas.com/. Senin, 29 September 2003.
____________, Dewan Pers Bisa Jadi Mediator Perkara Pers, http://www.kompas.com/ Kamis, 23 September 2004
___________, Pengacara Perlu Diberi Kuasa Khusus Untuk Membuat Perdamaian Dalam Mediasi. http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=10657&cl=Fokus. [02-10-2003].
___________, Mediasi untuk Kurangi Tumpukan Perkara, http://www.hukumonline.com/ Berita, Jumat, 05 September 2003.
____________, Mediasi (Bukan) Basa-Basi http://www.hukumonline.com/. [06-07-2004]

____________, Pusat Mediasi Nasional Telah Memperoleh Akreditasi MA, http://www.hukumonline.com/. [15-07-2004]

____________, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

[1] Kita bisa melihat pada pasal 2 Perma yang menyebutkan semua kasus perdata wajib di terlebih dahulu siselesaikan dengan cara mediasi. Mengenai kode etik mengenai mediator, saya belum bisa menemukanya.
[2] Terus siapa yang mengeluarkan sertifikat untuk kalangan non hakim, perlu ngga untuk sekolah lagi menjadi mediator, jangan-jangan seperti advokat yang harus sekolah lagi dan memiliki kartu beracara yang dikeluarkan oleh lembaga tertentu.
[3] Lihat pada Mediasi (bukan) basa-basi, http://www.hukumonline.com/detail.asp?. [06-07-2004]
* Teguh Adminto adalah mahasiswa Fakultas Hukum UMM yang menjadi asisten Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH-UMM)

Friday, January 20, 2006

ulang tahun ni ye....


aduh, ulang tahun kadang emang seneng tapi kadang juga bikin bete, ini juga yang dialami oleh temenku yang sedang ultah. udah di guyur air tambah telor ma tepung lgi. kaya perkedel aja.....tapi temen2 seneng aja, abis itu kejar kejaran...ayo melarikan diri he.....he......

Wednesday, January 18, 2006

Meretas Keadilan di Gelapnya sistem Peradilan di Indonesia

Sidang lanjutan perkara No. Reg.51/Pid.B/2005 PN Kediri atas kasus sertifikasi tanpa ijin dengan terdakwa Budi Purwo Utomo SH telah memasuki tahap pembacaan Pembelaan (Pledoi) yang rencananya akan digelar hari ini (Rabu, 18/01). di Pengadilan Negeri Kediri.
Pada sidang yang akan digelar kali ini rencananya akan dibacakan dua naskah pledoi/pembelaan yang oleh Penasihat Hukum terdakwa dan pembacaan pledoi yang dibuat dan dibacakan sendiri oleh terdakwa Budi Purwo Utomo SH.
Ada hal yang menarik dalam tuntutan jaksa penuntut umum yang dibacakan pada sidang hari rabu (4/01), bahwa terdakwa dituntut dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan. Ini adalah tuntutan yang mengada-ada yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum, yang pada dasarnya terdakwa tidak terbukti bersalah melanggar pasal 55 ayat (1) poin 1e KUHP jo pasal 61 ayat (1) huruf b UU RI Nomor 12 tahun 1992 tentang budi daya tanaman. Hal ini bertentangan dengan ketentuan pasal 1 KUHP tentang asas legalitas (tidak ada perbuatan dapat dihukum, tanpa ada undang-udang yang mengaturnya terlebih dahulu).
Sebagai negara hukum, tentunya setiap tindakan harus berdasar atas hukum dan harus bisa dipertanggungjawabkan secara hukum, hal ini sesuai dengan konstitusi negara Indonesia yaitu UUD 1945.
Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Ini merupakan jaminan terhadap setiap manusia Indonesia untuk mengembangkan potensi diri tersebut sesuai dengan amanah UUD 1945 pada pasal 28C ayat 1.
Bahwa dari pengertian Sertifikasi dalam pasal 1 poin 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, maka unsur pokok dan terpenting dari Sertifikasi itu sendiri adalah pemberian Sertifikat benih tanaman. Adapaun pemberian Sertifikat benih tanaman tersebut setelah dilakukan atau didahului dengan beberapa tahapan diantaranya adalah:
a. Pemeriksaan
b. Pengujian
c. Pengawasan
Berdasarkan hal tersebut diatas Kami Penasihat Hukum Terdakwa berkeyakinan bahwa semua unsur 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 61 Undang-Undang No.12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman tidak terbukti secara sah menurut hukum dalam persidangan ini.
Bahwa berdasarkan pasal 191 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: “ Jika Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan Terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan, maka Terdakwa diputus bebas”.
Bahwa berdasarkan pasal 1 KUHP yang berbunyi : “Bahwa tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi”. Jadi seseorang tidak dapat dihukum melakukan perbuatan pidana, sebelum perbuatan itu diatur dan dilarang dalam Undang-undang.
Bahwa berdasarkan pasal 54 ayat 2 Jo. Pasal 55 Undang-Undang No.12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman justru Pemerintah mempunyai kewajiban untuk membina dan mendorong masyarakat untuk melakukan kegiatan penelitian dibidang Budidaya Tanaman dan kepada penemu teknologi di bidang Budidaya termasuk penemuan jenis baru dan/atau varietas baru yang unggul maka pemerintah memberikan penghargaan serta si penemu juga diberi hak untuk memberi nama pada temuannya.
Sedangkan pada sidang dalam kasus yang sama yang digelar di Pengadilan Negeri Tulungagung memutuskan terdakwa Budi Purwo Utomo lepas dari segala tuntutan. Hal ini karena dalam persidangan terdakwa tidak terbukti dalam dakwaan yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Bahwa secara yuridis kasus yang digelar kembali di Pengadilan Negeri Kediri, walaupun dalam dakwaannya berbeda yaitu “sertifikasi tanpa ijin” ini jelas-jelas telah mencederai prinsip Negara Hukum yaitu melanggar asas Nebis In Idem.
Dalam persidangan ini kami, bahwa sangat terasa bagi kami adanya aroma yang kurang sedap dalam rangka penegakan hukum di era reformasi hukum yang sedang ditegakkan oleh pemerintah. Tidaklah keliru ketika kami mencium adanya praktik “mafia peradilan” dalam penyelesaian kasus ini, karena jalannya kasus ini ada indikasi ketidak fairan dan keberpihakan terhadap salah satu pihak dalam kasus ini.
Sehingga obyektif ketika kami meminta dalam kasus ini terdakwa harus di bebaskan dari hukuman. Hal ini mengingat dalam perjalanan sidang tidak adanya pembuktian yang mengarah pada kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa. Artinya dengan pembuktian selama ini, terbukti bahwa terdakwa Budi Purwo Utomo tidak bersalah secara hukum. (Teguh)

Monday, January 16, 2006

Titik Nadir sebuah Keniscayaan dalam Meretas Keadilan di Era Globalisasi


Siapa tidak mengenal Indonesia, negeri kaya alam yang sangat indah, subur dan permai. Suatu tempo seorang pecinta keindahan dari negeri gersang mesir mendatangi Indonesia dan terpukau dengan keindahan tanah sawah bertingkat membentang, gunung hijau menjulang dan laut biru terpampang. Ribuan pulau bagaikan belahan surga yang terlimpah di bumi yang teruntai dalam rentetan zamrud khatulistiwa.
Tentunya kita tetap ingat dengan lantunan musisi senior kita Koes Ploes dengan sayair pujaanya yang mengisahkan betapa agungnya Tuhan menciptakan Indonesia sebagai negeri yang penuh dengan limpahan rahmat-Nya. Syair tersebut berbunyi sebagai berikut; “Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”
Indonesia juga merupakan bangsa yang pernah menjadi Negara swasembada pangan dunia dan menjadi guru bagi petani dibelahan dunia lain. Dengan keberagaman iklim dan budaya menjadikan Negara kita menjadi Negara yang dipuji dan disanjung oleh seluruh dunia.
Dan kita tidak lupa dengan Undang-undang Dasar 1945 amandemen pada pasal 28C ayat 1 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”
Sebagai putra bangsa yang memiliki semangat untuk membangun bangsa ini tentunya saya tidak tinggal diam ketika memiliki bangsa yang sangat kaya dan subur untuk mencurahkan kemampuan saya dalam bidang pertanian untuk sumbangsih meningkatkan taraf perekonomian bangsa ini dengan mengolah potensi yang ada dalam diri saya demi kepentingan bangsa.
Tidaklah salah ketika anak bangsa yang sedang merajut cita dan tekad untuk mencintai tanah air ini yang nampak kesusahan di era globalisasi dengan segala daya dan pengetahuan yang dipahaminya. Bukankah itu merupakan bentuk cinta dan menghargai terhadap para pejuang kita yang telah menjauhkan diri dari “penjajahan” yang pernah ada dan masih ada hingga sekarang.
Sungguh naifkah kita dengan apa yang kita lakukan sebagai orang yang tahu dan memiliki peluang juga kesempatan untuk melakukan yang terbaik untuk bangsa ini. Sehingga dengan budi pekertinya yang luhur tidak akan melakukan perbuatan yang akan membuat bangsa ini menangis.
Tidaklah bangsa yang besar seperti Indonesia, ketika ada yang melakukan perbuatan yang membuat bangsa ini bengga dan tetap menjadi tanah surga yang dikagumi setiap manusia. Dan siapapun yang akan ikut di dalamnya tidaklah perlu untuk mendaftarkan dirinya, namun hal itu tumbuh dari hati nuraninya yang berjiwa Indonesia.
Ditengah derasnya arus globalisasi yang akan membawa bangsa ini menjadi bangsa yang bisa bersaing dengan bangsa lain tentunya tidak perlunya restriksi yang berlebihan terhadap berkembangnya ilmu pengetahuan yang menjadi modal penting perubahan bangsa ini.
Sepantasnyalah bahwa suatu kebenaran yang muncul dari sanubari yang tulus terhadap sebuah keadilan yang dicita-citakan oleh setiap insan, muncul juga dalam benak saya sebagai insan manusia yang mencoba untuk mengaplikasikan apa yang saya pahami selama ini.
Seperti yang dikatakan oleh seorang budayawan yang dikenal dengan sebutan “Si Penyair Celurit Emas” D. Zawawi Imron dalam sebuah paparanya mengatakan “Orang yang tidak punya rasa cinta tanah air akan mudah melakukan penghianatan terhadap bangsa dan negara, seperti melakukan makar, kerusuhan, penjarahan, korupsi, membuka aib bangsa dan Negara kepada bangsa lain dan perbuatan tidak terhormat lainnya”
Demikianlah saya sebagai manusia biasa yang teramat kecil bagi keberadaan ciptaan Tuhan yang lainnya, yang mencoba untuk meretas sebuah keadilan yang teramat mahal harganya.
Makna yang baik kita ambil dari sepenggal puisi karya D. Zawawi Irmron yang berbunyi “Adik-adik kecil yang manis! Jangan mandi di situ, air sungai itu bercampur limbah, nanti kalau kamu dewasa kulitmu tidak sempurna sebagai anak Indonesia. Aku tak ingin, kamu jadi orang asing di atas tanah kelahiranmu sendiri.". sebuah pemahaman yang melanda negeri ini bahwa sering kali kita menjadi tamu dinegeri sendiri, sungguh naif sebagai bangsa besar yang masih memiliki harga diri.
Teguh Adminto<>Asisten Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH UMM)

EUTHANASIA PERSEPETIF MEDIS DAN HUKUM PIDANA INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik mengenai euthanasia (Mercy Killing). Euthanasia atau menghilangkan nyawa orang atas permintaan dirinya sendiri[1] sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa seseorang. Dan hal ini masih menjadi perdebatan pada beberapa kalangan yang menyetujui tentang euthanasia dan pihak yang tidak setuju tentang euthanasia.
Pihak yang menyetujui euthanasia dapat dilakukan, hal ini berdasarkan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu alasan kemanusian. Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera diakhiri hidupnya. Sementara sebagian pihak yang tidak membolehkan euthanasia beralasan bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia.
Perdebatan ini tidak akan pernah berakhir, karena sudut pandang yang dipakai sangatlah bertolak belakang, dan lagi-lagi alasan perdebatan tersebut adalah masalah legalitas dari perbuatan euthanasia. Walaupun pada dasarnya tindakan euthanasia termasuk dalam perbuatan tindak pidana yang diatur dalam pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Di Negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia mendapatkan tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh Negara Jepang. Tentunya dalam melakukan tindakan euthanasia harus melalui prosedur dan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar euthanasia bisa dilakukan.
Ada tiga petunjuk yang dapat digunakan untuk menentukan syarat prasarana luar biasa. Pertama, dari segi medis ada kepastian bahwa penyakit sudah tidak dapat disembuhkan lagi. Kedua, harga obat dan biaya tindakan medis sudah terlalu mahal. Ketiga, dibutuhkan usaha ekstra untuk mendapatkan obat atau tindakan medis tersebut. Dalam kasus-kasus seperti inilah orang sudah tidak diwajibkan lagi untuk mengusahakan obat atau tindakan medis.
Bahkan, euthanasia dengan menyuntik mati disamakan dengan tindakan pidana pembunuhan. Alternatif terakhir yang mungkin bisa diambil adalah penggunaan sarana via extraordinaria. Jika memang dokter sudah angkat tangan dan memastikan secara medis penyakit tidak dapat disembuhkan serta masih butuh biaya yang sangat besar jika masih harus dirawat, apalagi perawatan harus diusahakan secara ekstra, maka yang dapat dilakukan adalah memberhentikan proses pengobatan dan tindakan medis di rumah sakit.
Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif Indonesia, euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Kasus yang terakhir yang pengajuan permohonan euthanasia oleh suami Again ke Pengadilan Negeri Jakarta, belum dikabulkan. Dan akhirnya korban yang mengalami koma dan ganguan permanen pada otaknya sempat dimintakan untuk dilakukan euthanasia, dan sebelum permohonan dikabulkan korban sembuh dari komanya dan dinyatakan sehat oleh dokter.
Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan euthanasia sebagai salah satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik sosial, etika, maupun moral.
Permasalahan
Menyangkut feomena yang ada akan menimbulkan beberapa permasalahan yang harus kita selesaikan dengan seksama. Dari latar belakang demikian ini penulis mendapatkan beberapa permasalahan yang akan kita bahas dalam bab-bab berikutnya antara lain;
-Apakah dimungkinkan adanya terobosan baru dalam hukum berdasarkan kasus-kasus berat, seperti secara medis penyakit sudah tidak bisa lagi disembuhkan, sementara dokter pun sudah angkat tangan?
-Mengingat hukum kita menganut positifistik, bagaimana Euthanasia menurut persepektif hukum Pidana Indonesia?



BAB II
PEMBAHASAN


Euthanasia dalam persepektif Medis
Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan tenologi di bidang medik, kehidupan seorang pasien bisa diperpanjang dan hal ini seringkali membuat para dokter dihadapkan pada sebuah dilema untuk memberikan bantuan tersebut apa tidak dan jika sudah terlanjur diberikan bolehkah untuk dihentikan.
Tugas seorang dokter adalah untuk menolong jiwa seorang pasien, padahal jika dilihat lagi hal itu sudah tidak bisa dilanjutkan lagi dan jika hal itu diteruskan maka kadang akan menambah penderitaan seorang pasien. Nah, penghentian pertolongan tersebut merupakan salah satu bentuk euthanasia.
Bardasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian kedalam tiga jenis:
1. Orthothansia, merupakan kematian yang terjadi karena proses alamiah,
2. Dysthanasia, adalah kematian yang terjadi secara tidak wajar,
3. Euthanasia, adalah kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter,
Pengertian euthanasia ialah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negative, dan biasanya tindakan ini dilakukan oleh kalangan medis. Sehingga denagn hal demikian akan muncul yang namanya euthanasia positif dan euthanasia negative dan berikut adalah contoh-contoh tersebut;
1. Seseorang yang sedang menderita kangker ganas atau sakit yang mematikan, yang sebenarnya dokter sudah tahu bahwa seseorang tersebut tidak akan hidup lama lagi. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi justru menghentikan pernapasannya sekaligus.
2. Seperti yang dialami oleh Nyonya Again (istri hasan) yang mengalami koma selama tiga bulan dan dalam hidupnya membutuhkan alat bantu pernafasan. Sehingga dia akan bisa melakukan pernafasan dengan otomatis dengan bantuan alat pernafasan. Dan jika alat pernafasan tersebut di cabut otomatis jantungnya akan behenti memompakan darahnya keseluruh tubuh, maka tanpa alat tersebut pasien tidak akan bisa hidup. Namun, ada yang menganggap bahwa orang sakit seperti ini sebagai "orang mati" yang tidak mampu melakukan aktivitas. Maka memberhentikan alat pernapasan itu sebagai cara yang positif untuk memudahkan proses kematiannya.
Hal tersebut adalah contoh dari yang namanya euthanasia positif yang dilakukan secara aktif oleh medis.
Berbeda dengan euthanasia negative yang dalam proses tersebut tidak dilakukan tindakan secara aktif (medis bersikap pasif) oleh seorang medis dan contohnya sebagai berikut;
1. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau terkena semacam penyakit pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati (padahal masih ada kemungkinan untuk diobati) akan dapat mematikan penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat mempercepat kematiannya.
2. Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita kelumpuhan tulang belakang atau kelumpuhan otak. Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan (tanpa diberi pengobatan) apabila terserang penyakit paru-paru atau sejenis penyakit otak, yang mungkin akan dapat membawa kematian anak tersebut.
Dari contoh tersebut, "penghentian pengobatan" merupakan salah satu bentuk eutanasia negatif. Menurut gambaran umum, anak-anak yang menderita penyakit seperti itu tidak berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan mempermudah kematian secara pasif (eutanasia negatif) itu mencegah perpanjangan penderitaan si anak yang sakit atau kedua orang tuanya.
Kede etik kedokteran Indonesia
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan kedikterannya sebagai seorang profesi dikter harus sesuai dengan ilmu kedikteran mutakhir, hukum dan agama.
KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Jadi dalam menjalankan prifesinya seorang dokter tidak boleh melakukan;
Menggugurkan kandungan (Abortus Provocatus),
mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia),
Mengenai euthanasia, dapat digunakan dalam tiga arti ;
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir,
2. Waktu hidup akan berakhir (sakaratul maut) penderitaan pasien diperingan dengan memberikan obat penenang,
3. Mengakhiri penderitaan dari seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.[2]
Adapun unsur-unsur dalam pengertian euthanasia dalam pengertian diatas adalah:
1. Berbuat seauatu atau tidak berbuat sesuatu,
2. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien,
3. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan,
4. Atas permintaan pasien dan keluarganya,
5. Demi kepentingan pasien dan keluarganya.
Euthanasia dalam persepektif Hukum
Melihat penderitaan istrinya yang tidak kunjung berakhir, Panca Satrya Hasan Kusuma memohon agar istrinya (Agian Isna Nauli) yang sudah koma sekitar tiga bulan setelah melahirkan putra keduanya, disuntik mati saja.
Ini merupaka perubahan dalam dinamika masyarakat yang kian mengglobal yang ditandai semakin mudahnya masyarakat mengakses informasi dari berbagai belahan dunia maka semakin sering masyarakat bersentuhan dengan nilai-nilai asing (di luar kebiasaan/norma-norma komunitasnya).
Namun perubahan paradigma berfikir masyarakat bukanlah sebagai arah sebuah kemajuan berfikir, naamun cuma kebingungan dalam berfikir. Hal ini dialami oleh Hasan yang mengajukan euthanasia terhadap istrinya dan hal yang sama juga terjadi pada Siti Zulaekha yang akan diajukan euthanasia oleh keluarganya.
Konsepsi Euthanasia
Euthanasia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai “kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan dan tak tersembuhkan”. Istilah yang sangat populer untuk menyebut jenis pembunuhan ini adalah mercy killing (Tongat, 2003 :44). Sementara itu menurut Kamus Kedokteran Dorland euthanasia mengandung dua pengertian. Pertama, suatu kematian yang mudah atau tanpa rasa sakit. Kedua, pembunuhan dengan kemurahan hati, pengakhiran kehidupan seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan dan sangat menyakitkan secara hati-hati dan disengaja.
Secara konseptual dikenal tiga bentuk euthanasia, yaitu voluntary euthanasia (euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri karena penyakitnya tidak dapat disembuhkan dan dia tidak sanggup menahan rasa sakit yang diakibatkannya); non voluntary euthanasia (di sini orang lain, bukan pasien, mengandaikan, bahwa euthanasia adalah pilihan yang akan diambil oleh pasien yang berada dalam keadaan tidak sadar tersebut jika si pasien dapat menyatakan permintaannya); involuntary euthanasia (merupakan pengakhiran kehidupan pada pasien tanpa persetujuannya).
Konstruksi Yuridis Euthanasia
Munculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia menjadi beban tersendiri bagi komunitas hukum. Sebab, pada persoalan “legalitas” inilah persoalan euthanasia akan bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana hukum (pidana) positif memberikan regulasi/pengaturan terhadap persoalan euthanasia akan sangat membantu masyarakat di dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebih-lebih di tengah kebingungan kultural karena munculnya pro dan kontra tentang legalitasnya.
Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan :

“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.

Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
Mengacu pada ketentuan tersebut di atas, maka munculnya kasus permintaan tindakan medis untuk mengakhiri kehidupan yang muncul akhir-akhir ini (kasus Hasan Kesuma yang mengajukan suntik mati untuk istrinya, Ny. Agian dan terakhir kasus Rudi Hartono yang mengajukan hal yang sama untuk istrinya, Siti Zuleha) perlu dicermati secara hukum. Kedua kasus ini secara konseptual dikualifikasi sebagai non voluntary euthanasia, tetapi secara yuridis formal (dalam KUHP) dua kasus ini tidak bisa dikualifikasi sebagai euthanasia sebagaimana diatur dalam Pasal 344 KUHP. Secara yuridis formal kualifikasi (yang paling mungkin) untuk kedua kasus ini adalah pembunuhan biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP, atau pembunuhan berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP. Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas dinyatakan, “ Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Sementara dalam ketentuan Pasal 340 KUHP dinyatakan,

“ Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”.[3]

Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang juga mengancam terhadap “Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”.
Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan Pasal 306 (2). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan,

“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”.[4]

Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun”.
Dua ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa dalam konteks hukum positif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dua pasal terakhir ini juga bermakna melarang terjadinya euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia.
Euthanasia di Negara lain
Fenomena euthanasia ini berkembang lagi ketika kasus Nyonya Agian mencuat di permukaan ketika suaminya (Hasan) meminta DPRD Bogor untuk mengagalkan keinginannya untuk meng-eutanasia istrinya tersebut. Banyak orang yang menentang apa yang dilakukan Hasan pada istrinya tersebut,dengan alasan bahwa eutanasia itu bertentangan dengan nilai-nilai etika, moral karena termasuk perbuatan yang merendahkan martabat manusia dan perbuatannya tergolong pembunuhan, mengingat kematian menjadi tujuan.
Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan euthanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan. kapankah hal seperti itu terjadi di Indonesia?
Kiranya persoalan euthanasia, meskipun pelaksanaannya tidak harus dan tidak selalu dengan suntikan, merupakan sebuah persoalan dilematis. Selain hukum, praktik eutanasia tentu saja berbenturan dengan nilai-nilai etika dan moral yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kehidupan manusia. Adanya indikasi-indikasi baik medis maupun ekonomis tidak secara otomatis melegitimasi praktik eutanasia mengingat eutanasia berhadapan dengan faham nilai menyangkut hak dan kewajiban menghormati dan membela kehidupan.
Di Negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia mendapatkan tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh Negara Jepang. Tentunya dalam melakukan tindakan euthanasia harus melalui prosedur dan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar euthanasia bisa dilakukan.
Didalam KUHP Austria Pasal 139 a berbunyi ;

“Seseorang yang membunuh orang lain atas permintaan yang jelas dan sungguh- sungguh terhadap korban dianggap bersalah melakukan delik berat pembunuhan manusia atas permintaan akan dipidana dengan pidana penjara berat dari lima sampai sepuluh tahun”.

Sebagai bahan perbandingan. Ternyata di negara inipun melarang adanya eutanasia
Prosedur pengajuan Euthanasia di Indonesia
Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif Indonesia, euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Kasus yang terakhir yang pengajuan permohonan euthanasia oleh suami Again ke Pengadilan Negeri Jakarta, belum dikabulkan. Dan akhirnya korban yang mengalami koma dan ganguan permanen pada otaknya sempat dimintakan untuk dilakukan euthanasia, dan sebelum permohonan dikabulkan korban sembuh dari komanya dan dinyatakan sehat oleh dokter.
Dari kasus diatas kita bisa menangkap prosedur yang harus dilakukan oleh pemihon euthanasia, bahkan hal ini sangat berbeda dengan yang dilakukan di Negara lain yang prosedurnya sangat ketat dan rapi. Sehingga orang akan berfikir untuk melakukan euthanasia.


BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
Mengingat kondisi demikian, yang dibutuhkan kemudian adalah perawatan dan pendampingan, baik bagi si pasien maupun bagi pihak keluarga. Perhatian dan kasih sayang sangat diperlukan bagi penderita sakit terminal, bukan lagi bagi kebutuhan fisik, tetapi lebih pada kebutuhan psikis dan emosional, sehingga baik secara langsung maupun tidak kita dapat membantu si pasien menyelesaikan persoalan-persoalan pribadinya dan kemudian hari siap menerima kematian penuh penyerahan kepada penyelenggaraan Tuhan Yang Maha Esa. Bagaimanapun si pasien adalah manusia yang masih hidup, maka perlakuan yang seharusnya adalah perlakuan yang manusiawi kepadanya.
Jelas bahwa hukum (pidana) positif di Indonesia belum memberikan ruang bagi euthanasia baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif. Tanpa harus mengesampingkan pendapat lain, kesimpulan normatif ini urgen untuk disampaikan mengingat berbagai hal. Pertama, munculnya permintaan tindakan medis euthanasia hakikatnya menjadi indikasi, betapa masyarakat sedang mengalami pergeseran nilai kultural.
Penulis menentang dilakukannya euthanasia atas dasar etika, agama, moral dan legal, dan juga dengan pandangan bahwa apabila dilegalisir, euthanasia dapat disalahgunakan. Kelompok pro-euthanasia mungkin akan menentang pendapat ini dengan menggunakan argumen quality of life, autonomi dan inkonsistensi hukum. Namun demikian, argumen-argumen yang telah dikemukakan di atas lebih kuat. Argumen pertama yaitu secara etika, tugas seorang dokter adalah untuk menyembuhkan, bukan membunuh; untuk mempertahankan hidup, bukan untuk mengakhirinya. Dasar agama adalah argumen berikutnya, di mana dokter percaya kesucian dan kemuliaan kehidupan manusia. Dari segi respek moral, pilihan untuk membunuh, baik orang lain maupun diri sendiri adalah imoral karena merupakan tindak sengaja untuk membunuh seorang manusia. Dari segi legal, seorang dokter yang melakukan euthanasia atau membantu orang yang bunuh diri telah melakukan tindakan melanggar hukum. Argumen terakhir adalah sulitnya untuk melegalisir euthanasia karena sulitnya membuat standar prosedur yang efektif. Lebih jauh lagi, melegalisir voluntary euthanasia dapat mengarah kepada dilakukannya involuntary euthanasia dan membuat orang-orang lemah seperti orang lanjut usia dan para cacat berada dalam risiko. Selanjutnya hal ini juga dapat memberikan tekanan kepada mereka yang merasa diabaikan atau merasa sebagai beban keluarga atau teman. Pengalaman di negeri Belanda telah membuktikan konsep slippery slope.
B. Saran
Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan eutanasia sebagai salah satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik sosial, etika, maupun moral.



DAFTAR PUSTAKA
Kristiantoro, Amb Sigit, Eutanasia, Perspektif Moral Hidup.http://www.kompas.com/kompas-cetak/0410/15/ilpeng/1325806.htm Jumat, 15 Oktober 2004
Qardhawi, Yusuf, Fatwa-fatwa Kontemporer . Gema Insani Press.

Tongat, Hukum Pidana Materiil. Djambatan. 2003.

Soehino, kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia. Politeia. Bogor.

_________, The Slippery Slope of Dutch Euthanasia. Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998.

Tongat, Euthanasia dalam persepektif hukum pidana di Indonesia.(makalah). Malang. 14 Februari 2005.

Suswati, Irma. Euthanasia, (makalah).Malang,14 Februari 2005.

­­­­­­­­­­­­­­­­­­­_________, Pemerintah Diminta Bentuk UU Euthanasia, http://cybermed.cbn.net.id/Friday, 5 November 2004 14:14:14 WIB.

Wibudi, Aris, Euthanasia.(makalah) http://rudyct.tripod.com/sem2_012/aris_wibudi. ITB. Bogor. 2002

Terbarzana, Rina Rehulina, Euthanasia. http://www.myquran.org/. 09 Agustus 2005


[1] Biasanya permintaan itu karena seseorang yang dalam keadaan terdesak atau sakit yang sudah sangat parah, sehingga tidak ada lagi harapan untuk memperoleh kesembuhan. Sedangkan dalam pembiayaan (ekonomi) sudah tidak mampu lagi atau korban memiliki keinginan agar dalam hidupnya tidak lagi merepotkan orang lin.
[2] Irma Suswati, Euthanasia, (makalah). Malang.14 Februari 2005. hal:4.
[3] Lihat dalam Soehino, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia. Politeia. Bogor.
[4] ibid

Saturday, January 14, 2006

beda itu biasa

teguh ketika menjadi Reporter dan Media Relation Officer di Mukhtamar Muhammadiyah tahun 2005 di Malang. di ntempat redaksi inilah temen2 mengolah data dan berita yang segera di publikasikan melalui Buletinj Muktamar dan Website Mukhtamar