Monday, October 10, 2005

pengen nulis di KOMPAS ini caranya

beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengirimkan tulisan ke KOMPAS, awas jangan sampai salah dan moga ntar tulisan mu dapat dimuat di Harian KOMPAS.

Kriteria umum untuk artikel Kompas :


1. Asli, bukan plagiasi, bukan saduran, bukan terjemahan, bukan sekadar kompilasi, bukan rangkuman pendapat/buku orang lain .
2. Belum pernah dimuat di media atau penerbitan lain, dan juga tidak dikirim bersamaan ke media atau penerbitan lain.
3. Topik yang diuraikan atau dibahas adalah sesuatu yang actual, relevan, dan menjadi persoalan dalam masyarakat.
4. Substansi yang dibahas menyangkut kepentingan umum, bukan kepentingan komuninas tertentu, karena Kompas adalah media umum dan bukan majalah vak atau jurnal dari disiplin tertentu.
5. Artikel mengandung hal baru yang belum pernah dikemukakan penulis lain, baik informasinya, pandangan, pencerahan, pendekatan, saran, maupun solusinya.
6. Uraiannya bisa membuka pemahaman atau pemaknaan baru maupun inspirasi atas suatu masalah atau fenomena.
7. Penyajian tidak berkepanjangan, dan menggunakan bahasa populer/luwes yang mudah ditangkap oleh pembaca yang awam sekalipun. Panjang tulisan 3,5 halaman kuarto spasi ganda atau 700 kata atau 5000 karakter (dengan spasi) ditulis dengan program Words.
8. Artikel tidak boleh ditulis berdua atau lebih.

selamat mencoba.
teguh

Saturday, October 08, 2005

kontrak politik

Kontrak Politik Suatu Pelanggaran Fungsi Legeslatif

Oleh : Teguh Adminto*


Prosesi pelantikan anggota Dewan Perwakilam Rakyat Daerah (DPRD) periode 2004-2009 hampir diseluruh Kabupaten/kota di Indonesia diwarnai dengan berbagai aksi yang dilakukan baik oleh aktifis mahasiswa maupun oleh lembaga yang mengatasnamakan masyarakat dengan cara melakukan kontrak politik dengan anggota (DPR/DPRD). Kontrak politik yang dilakukan oleh beberapa kalangan dimasyarakat merupakan yang sebenarnya menarik untuk dikritisi, sejumlah elemen yang mengatasnamakan masyarakat di Yogyakarta melakukan kontrak politik dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang baru terlantik, namun hanya 20 anggota yang bersedia menandatangani draft kontrak yang telah disediakan oleh para aktifis. Tidak jauh berbeda kondisinya terjadi pada saat pealantikan anggota DPRD DKI Jakarta yang hanya dihadiri oleh 53 dari 85 anggota DPRD terpilih.
Fenomena yang sama terjadi pada waktu pelantikan anggota DPRD kota Surabaya yang hanya sembilan dari 45 anggota DPRD yang mau menandatangani kontrak politik yang disodorkan oleh para aktifis yang tergabung dalam Kesatuan Asksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Melihat dari poin yang disodorkan kepada para wakil rakyat, pembentukan pemerintahan yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi poin yang selalu mencul dalam setiap draft kontrak politik, hal ini sangat menarik, karena masyarakat ternyata mendambakan hilangnya praktek-praktek yang selama ini menjadi kebiasaan para pejabat pemerintahan, yaitu KKN yang notabene sangat merugikan masyarakat banyak.
Secara substansial, kontrak politik yang dilakukan para aktifis mempunyai tujuan untuk menyadarkan dan mengingatkan (Parliament Watch) terhadap anggota legeslatif (DPR/DPRD) agar menjalankan tugas legislatif-nya dan peran penyambung aspirasi masyarakat dan apabila terjadi “penghianatan” maka masyarakat atau institusi yang melakukan kontrak politik bisa menuntut anggota dewan yang telah menandatangani draft kontrak politik. Namun hal ini apakah sesuai dengan sistem hukum yang ada di Indonesia. Bahwa kontrak politik tidaklah rasional dan tidak diatur dalam perundang-undangan. Namun, yang perlu dipahami dari banyaknya tuntutan agar wakil rakyat melakukan kontrak politik merupakan bentuk kepedulian masyarakat terhadap pemerintahan khususnya para wakil rakyat.dan ada beberapa hal yang melatarbelakangi terjadinya kontrak politik antara wakilrakyat dengan kontituenya. Pertama, warga masyarakat ingin mengingatkan agar wakil-wakilnya didewan sungguh-sungguh dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat. Kedua, warga masyarakat menginginkan wakil rakyat hasil pemilu 2004 lebih baik secara kualitas dibanding dengan wakil rakyat hasil pemilu 1999 yang dalam pemilu 2004 juga terpilih kembali. Dengan menandatangani kontrak politik, anggota legeslatif bersangkutan harus mampu merealisasikan segala tuntutan yang tecantum dalam draft kontrak politik yang telah ditandatangani.
Poin-poin yang terdapat dalam draft yang telah ditandatangani oleh para wakil rakyat harus menjadi salah satua agenda politik yang diperjuangkan dan direalisasikan oleh dewan yang telah menandatanganinya. Jika agenda politik tersebut tidak mampu diperjuangkan dan direalisasikan, mau tidak mau anggota dewan yang telah menandatangani harus rela meninggalkan kursi “empuk” dilegeslatif (mengundurkan diri). Secara yuridis ini tidak sesuai dengan aturan yang ada, artinya hanya partai politik yang bisa merecal (menarik) kadernya yang terpilih dan konstituen yang melakukan kontrak politik tidah memiliki dasar yuridis yang kuat untuk menuntut mundur. Karena hal ini akan bertentangan dengan peraturan perudangan yang berlaku. Dan ini akan menjadi hal yang baru namun cukup menjadi salah satu control moral bagi anggota dewan yang tidak bisa merealisasikan agenda politik yang merupakan aspirasi masyarakat.
Namun, dengan adanya kontrak politik tersebut sebenarnya bertentangan dengan fungsi legeslatif yang dimiliki oleh anggota dewan, dan perlu diingatkan bahwa wakil rakyat yang duduk dikursi dewan bukanlah wakil dari beberapa orang atau elemen saja, akan tetapi wakil dari seluruh rakyat. Dan tugasnyapun bukan hanya mewakili aspirasi dari masyarakat sebagian saja, namun wakil dari masyarakat luas. Sebab, elemen yang melakukan kontrak politik belum tentu mewakili aspirasi masyarakat secara keseluruhan. Justru dengan adanya kontrak politik antara para aktifis ataupun yang mengatasnamakan elemen masyarakat akan menimbulkan pertanyaan, atas nama masyarakat atau atas nama mereka sendiri meraka melakukan kontrak politik, kalau atas nama masyarakat, masyarakat yang mana ?. Padahal dengan pemilihan umum yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah merupakan sebuah kontrak politik yang di atur dengan undang-undang no. 12 tahun 2003, karena hanya dengan pemilulah mereka bisa menduduki kursi (DPR/DPRD) dan ini yang disebut penyerahan mandat oleh masyarakat kepada para wakilnya.
Istilah “kontrak politik” sebenarnya masih sangat aneh dan janggal jika dihubungkan dengan posisi anggota legeslatif jika kontrak politik diartikan dengan mengambil alih posisi legeslatif dan juga istilah tersebut sangat kontradiktif dengan peran, fungsi, posisi dan tanggung jawab legeslatif. Hal ini dikarenakan ketika kita memilih mereka adalah agar menjadi “corong” untuk kepentingan masyarakat dalam membela kebenaran, keadilan, demokrasi, hak asasi manusia dan sebagainya.
Oleh karena itulah sebenarnya kontrak politik tidak perlu lagi dilakukan oleh beberapa elemen yang mengatasnamakan masyarakat, karena setiap anggota dewan memang sudah wajib untuk membawa dan menyuarakan aspirasi konstituennya dan mereka juga harus ikut merasakan penderitaan, air mata dan cucuran keringat yang dialami masyarakat yang menjadi konstituennya. Kewajiban tersebut harus benar-benar diterapkan sejak mereka mengucapkan “sumpah dewan “ yang dibacakan dalam prosesi pelantikan anggota dewan.
Anggota dewan hasil pemilu 5 april 2004 berpotensi lebih menonjol daripada anggota legeslatif hasil pemilu 1999, hal ini dikarenakan anggota legeslatif hasil pemilu 5 april 2004 adalah hasil pemilihan langsung dari masyarakat, sehingga hasilnya benar-benar murni pilihan rakyat, maka tidak ada alasan untuk tidak mendengarkan aspirasi dari masyarakat. Pemerintahan yang bersih dan berwibawa akan terus menjadi impian masyarakat indonesia dan saatnyalah anggota legeslatif harus berfungsi sebagai “hero” bagi rakyat sehingga masyarakat tidak lagi menjadi “sapi perahan” bagi kaum penguasa

* Mahasiswa S-1 Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Koordinator Jurnalistik IMM SUPREMASI Hukum UMM.

Friday, October 07, 2005

MELEDAKNYA KEDUTAAN AUSTRALIA

Meledaknya Bom di Kedubes Australia
Terorisme suatu ancaman Global

Oleh : Teguh Adminto*


DUNIA mengutuk terjadinya peledakan bom didepan Kedutaan besar Australia di Indonesia 09 September 2004 lalu, ledakan yang memporak-porandakan kawasan kuningan itu terjadi pada pukul 10.23 BBWI dan menelan tidak kurang dari sembilan orang meninggal dunia dan puluhan yang lain luka-luka. Peristiwa biadab tersebut menuai kecaman dari berbagai pihak diseluruh Dunia. Dan peristiwa ini bisa jadi akan menggangu hubungan diplomatik antar Indionesia-Australia yang akhir-akhir ini mengalami pasang surut setelah meledaknya bom di Bali yang banyak memakan korban jiwa dari warga Australia. Dalam pidatonya Howard mengatakan bahwa pelaku peledakan bom di depan Kedutaan Australia adalah pelaku yang sama pada peledakan Legian dan JW Mariot. Hal ini menambah koleksi kecaman terhadap salah satu organisasi Islam di Asia (Jama’ah Islamiah) pasca bom Bali dan Jw. Mariot yang melibatkan Azhari Husin dan Noordin Mohd Top yang sampai saat ini masih menjadi Target Operasi (TO) polisi Indonesia.
Pasca runtuhnya menara kembar World Trade Center (WTC) akibat ulah para teroris dunia membuat gerah pemimpin pegara Adi kuaasa (AS) George W. Bush membuat. Tidak tanggung-tanggung (Bush) langsung mengarah pada musuh besarnya (Osama Bin laden) otak pelaku pengeboman di (WTC). Walaupun bukti keterlibatan Osama dalam kejadian itu tidak bisa dibuktikan oleh Bush. Dalam pidato pe5rnyataanya Bush mengatakan “Freedom if self was attacted this morning by a faceless coward freedom will be deferended” . Dan dalam kampanyenya Partai Republik (Bush) mengambil tema pemberantasan terorisme diseluruh dunia, terutama dinegara-negara Islam seperti Indonesia dan Salah satu orang yang paling takuti oleh Amerika (Bush) adalah pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Abu Bakar ba’asir yang dituduh menjadi otak dalam setiap peristiwa pengeboman di Asia, walaupun semuanya tidak pernah terbukti secara hukum.
Pemerintah Indonesia menyatakan perang terhadap teroris setelah Amrozi cs. Melekukan aksi pengeboman di Legian Bali yang menewaskan ratusan warga asing yang sedang berkunjung di Bali terutama turis dari Australia yang akhirnya pemerintah membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) no.1 tahun 2002 dan di berlakukan dengan Perpu no.2 tahun 2002 yang berlaku surut (Retroactivity) yang sebenarnya hal ini bertentangan azas dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan hukum tidak bisa berlaku surut dan kemudian Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan pembatalan terhadap Undang-undang no.16 tahun 2003 tentang pemberlakuan Undang-undang no.15 yang bisa berlaku surut terhadap pelaku bom Bali.
Teroris merupakan jenis perang baru yang muncul di dunia yang keberadaanya sulit untuk diperkirakan karena terorisme itu tidak nampak secara nyata sehingga keberadaanya akan sangat bahaya bagi seluruh umat di dunia. Karena dalam melancarkan aksinya para teroris tidak mengenal suku, ras, bangsa, pria, wanita, tua, muda, anak-anak dan lain-lain. Teroris juga tidak mengenal ruang dan waktu, karena hampir seluruh negara didunia menjadi sasaran perusakan dan kekacauan yang mengakibatkan penderitaan dan korban yang masif. Baru-baru ini juga terjadi drama penyandraan oleh para teroris yang memakan tidak kurang dari 326 siswa-siswi sekolah di kota Beslan, Rusia selatan 1 September lalu. Dan ini mengandaskan pernyataan Presiden Putin yang mengatakan bahwa dalam menghadapi teroris tidak harus dengan kekerasan, namun dengan cara diplomatisi pendekatan persuasif yang akhirnya Rusia harus berkabung akibat ulah para teroris yang menyandra dan membunuh para siswa dengan membabi buta dan tidak mengenal kompromi. Dan tindakan lambat dari pemerintah Putin mendapat kecaman dari pihak keluarga korban karena Putin dianggap lamban dalam menangani teroris.
Perang terhadap teroris ditanggapi secara serius oleh banyak negara didunia, ini dibuktikan dengan 60 negara yang meratifikasi Statuta Roma dan menjadikan undang-undang anti teroris dinegaranya. Disamping war crime, genoside dan aggresion dan terorisme merupakan ancaman yang sangat besar bagi umat manusia (Mankind), karena akibat yang ditimbulkan dari kejahatan itu sangatlah membahayakan kehidupan umat maanusia yang tidak memandang jenis kelamin, umur, bangsa dan lain-lain. Kejahatan atas kemanusiaan (crime against humanity) harus tanggulangi secara bersama karena kejahatan yang dilakukan para teroris jelas telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yang dijunjung tinggi oleh semua negara.
Siapakah teroris yang selama ini melakukan perusakan terhadap umat manusia didunia, apa tujuanya dan siapakah sasaranya ?, manjadi penting ketika kita mengetahui motif dan sasaran dari perbuatan yang sangat biadab itu, menurut hemat penulis secara politis bahwa tindakan yang dilakukan oleh beberapa kelompok orang ini bisa jadi merupakan konspirasi dari pihak yang ingin menguasai dunia dan konspirasi ini bisa dilakukan oleh aktor politik lokal yang berdampak Internasional. Dan ini harus segera ditangani secara serius oleh pemerintah Indonesia karena sudah lama Indonesia dianggap sebagai tempat pelatihan dan pusat gerakan teroris di Asia Tenggara. Tudingan itu ada benarnya juga, maka polisi harus bekerja keras untuk mengatasi terorisme di masa yang akan datang. Untuk itu polisi harus dibekali dengan kemampuan dan undang-undang anti teroris yang memadai sesuai standar Internasional dan juga tidak lepas dari kerja sama Internasional dalam menangani terorisme Internasional, karena Indonesia tidak mungkin mengatasi sendirian.
Dengan peristiwa pengeboman di Bali tahun 2002, Hotel JW Mariot tahun 2003 dan Kedubes Australia dua hari yang lalu kewaspadaan pemerintah harus ditingkatkan. Dan bila perlu pemerintah baru 2004 harus mengangkat menteri atau pejabat setingkat menteri yang khusus menangani terorisme. Penjagaan tempat-tempat vital seperti bandara, pelabuhan, stasiun harus diperketat, karena ini akan mengurangi distribusi bahan-bahan peledak, juga kerja sama denaga negara tetangga dalam mengatasi teririsme harus ditingkatkan. Yang jelas dengan peristiwa peledakan Kedubes Australia akan berdampak kepada sektor investasi dan pariwisata di Indonesia.

* Mahasiswa S-1 Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), aktif di IMM Supremasi Hukum dan laboratorium Hukum FH UMM.

TEGUH DAN "GIE IN MEMORIAN" SEMERU 17 AGUSTUS 2005

Wednesday, October 05, 2005

PROBLEMATIKA JUDICIAL RIVIEW DI INDONESIA

PROBLEMATIKA JUDICIAL RIVIEW DI INDONESIA
Oleh: Teguh Adminto*

A. Latar Belakang
Dengan diterbitkanya PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) Republik Indonesia nomor 1 tahun 1999, masyarakat semakin mudah untuk memngontrol setiap keputusan maupun kebijakan pemerintah yang berupa UUD 1945, Undang-Undang, Perpu, PP, Kepres dan Perda[1] yang sering kali dalam kebijakan tersebut tidak memihak bahkan merugikan masyarakat baik masyarakas secara keseluruhan maupun masyarakat secara kelompok.
Seperti diintrodusir oleh Sri Sumantri[2], bahwa hak uji dibagi menjadi dua hak untuk menguji (toetsingsrecht dan review) antara lain:
1. Hak menguji Formal (formale toetsingsrecht)
2. Hak menguji material (materiale toetsingsrecht)[3]
PERMA ini mengatur tentang pengajuan hak uji materiil terhadap UUD 1945, UU dan lain-lain lebih lanjutbdijel;askan dalam pasal 1 angka (1) PERMA tersebut yang berbunyi:
“Hak uji materiil adalah hak Mahkamah Agung untuk menguji secara materiil terhadap peraturan perundang-undangan, sehubungan dengan adanya gugatan atau permohonan keberatan”. Dan pada pasal 2 menjelaskan “Peraturan perundang-undangan adalah suatu peraturan yang mengikat umum dibawah Undang-undang”.[4]
Merujuk pasal 5 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1999, maka peraturan memberikan batas waktu untuk melakukan pengajuan /permohonan judicial riview selama 180 hari setelah diberlakukanya peraturan perundang-undanganyang bersangkutan. Maka demikian masyarakat yang merasa dirugikan berhak mengajukan permohonan keberatan.
Dalam hal keberatan adalah telah diatur dalam PERMA RI nomor 1 tahun 1999 pada pasal 1 angka (4) yang berbunyi sebagai berikut:
“Suatu permohonan yang berisi keberatan terhadap berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yang diduga bertentangan dngan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan diajukan ke Mahkamah Agung untuk mendapatkan putusan”.[5]
Dengan demikian apabila terjadi pada sebuah peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat dan dianggap bertent6angan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka masyarakat berhak untuk mengajukan permohonan Hak uji materiil kepada mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi tergantung peraturan apa yang akan diuji.
B. Permasalahan
Dalam pelaksanaan hak uji materiil sebenarnya siapakah yang berhak melakukan hak uji terhadap peratur an perundang-undangan apakah Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi ataukah Lembaga Yudikatif yang merupakan lembaga yang baru dan lebih berkompeten dalam bidangnya.
Selama proses penanganan Judicial Riview yang dilakukan oleh lembaga Mahkamah Agung selama ini apakah sudah sesuai dengan prosedur dan layak untuk dipertanggungjawabkan.
Hal inilah yang kemudian membangun inisiatif penulis untuk membahas dan mencoba mencari solusi dalam permasalahan tersebut dalam bab berikutnya yaitu bab Pembahasan.
A. Melakukan "Judicial Review" Undang-Undang Sebenarnya Hak Yudikatif
Ketetapan (Tap) MPR No III/ MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan yang memberikan kewenangan kepada MPR untuk melakukan judicial review (hak uji materiil) terhadap undang-undang (UU) dinilai tak tepat. Sebab kewenangan uji materiil adalah hak lembaga judikatif. Sebaiknya kewenangan menguji materiil UU itu diserahkan kepada Mahkamah Agung (MA) atau Mahkamah Konstitusi. Demikian benang merah yang dapat ditarik dari percakapan Kompas[6] secara terpisah dengan mantan anggota DPR Usamah Hisyam serta Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (Koalisi) Nursyahbani Katjasungkana di Jakarta hari Sabtu (19/8). Keduanya pun menyayangkan kegagalan Sidang Tahunan (ST) MPR tahun 2000 membentuk Mahkamah Konstitusi dan menyetujui pemberian wewenang menguji materi UU kepada MA. Pasal 5 Ayat (1) Tap III/MPR/ 2000 menyebutkan, Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sedangkan ayat (2) menyatakan, MA berwenang menguji materiil peraturan perundang- undangan di bawah UU. Tetapi tidak disebutkan, bagaimana mekanisme MPR melakukan judicial review terhadap UU itu. Tidak tepat Nursyahbani menyebutkan, pemberian hak uji materiil terhadap UU tidak tepat. Karena sesungguhnya pengawas perundang-undangan, adalah lembaga yudikatif. Apalagi, dalam Tap MPR No III/MPR/2000 itu tidak jelas mekanisme MPR melakukan uji materiil UU terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 atau Tap MPR. "Pemberian hak uji materiil kepada MPR itu tak jelas konsepnya. Ini mungkin dipacu, karena Komisi A MPR gagal menyetujui pembentukan Mahkamah Konstitusi.
Tetapi kalau MPR hanya diberikan hak, dan tidak jelas mekanismenya apa bisa dilakukan," tegas Nursyahbani, yang juga anggota MPR dari Fraksi Utusan Golongan (F-UG). Diingatkannya pula, sesuai Pasal 2 Ayat (3) UUD 1945 kewenangan MPR[7], adalah menetapkan UUD dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). "Kalau sekarang MPR menetapkan dirinya berwenang menguji UU, cantolannya apa ? Lebih baik kewenangan itu tidak diberikan, sambil menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi," papar Nursyahbani lagi. Senada, Usamah pun menyebutkan, judicial review adalah wewenang lembaga judikatif. Sebab itu, sebaiknya MPR "mengembalikan" wewenang hak uji materiil itu kepada MA dengan menambahkan, lembaga yudikatif tertinggi itu pun berwenang menguji materiil UU terhadap Tap MPR atau UUD. Hak uji materiil itu bisa dilakukan secara aktif, tidak harus melalui proses berperkara. "Terus terang, apa MPR masih memiliki waktu untuk melakukan uji materiil terhadap UU itu? Rasanya tidak. Jika uji materiil tersebut diserahkan kepada Badan Pekerja (BP) MPR, apakah mereka ahli menguji perundang-undangan? Rasanya juga tidak. Karena itu, lebih baik hak uji materiil itu diberikan kepada MA yang jelas lebih ahli di bidang hukum.
Apalagi, sekarang penunjukkan hakim agung harus sepersetujuan DPR," tandas Usamah, yang anggota Badan Penelitian dan Pengembangan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Usamah tidak mendukung pembentukan Mahkamah Konstitusi. Karena hanya akan menambah jumlah lembaga negara, tetapi belum pasti dapat bekerja dengan baik. Lebih baik, kewenangan judicial review terhadap UU pun diberikan
B. Penyelesaian Perkara Uji Materiil di Mahkamah Agung Masih Lamban
Selama diakhir penghujung 2004 tidak ada sama sekali perkara uji materiil yang putusannya tercatat di register Tata Usaha Negara. Penyelesaian permohonan uji materiil terkesan lamban padahal banyak yang harus diputus segera.
Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Firmansyah Arifin menyayangkan lambannya Mahkamah Agung (MA) dalam memutus permohonan uji materiil peraturan di bawah undang-undang.
Kelambanan tersebut mungkin ada benarnya. Investigasi yang dilakukan hukumonline menunjukkan bahwa sepanjang November – Desember 2004 tidak ada satu pun putusan uji materiil yang tercatat di register Tata Usaha Negara (TUN). Padahal, setiap bulan selalu ada permohonan baru yang masuk.
Pada Oktober 2004, misalnya, tercatat ada 127 perkara hak uji materiil. Pada bulan tersebut tidak ada yang putus, namun ada dua permohonan baru yang masuk. Bulan November ada 6 (enam) dan Desember ada 2 (dua) permohonan baru yang tercatat. Sayang, tak satu pun perkara lama dan baru yang tercatat sudah putus.
Hingga akhir 2004, MA masih harus menangani 137 perkara permohonan hak uji materiil. Jumlah yang hampir sama dengan akhir tahun 2003, dimana pada awal bulan sisa perkara berjumlah 127. Hingga akhir tahun masih tersisa 125 perkara. Dengan demikian, hanya ada dua perkara yang diputus.

Berdasarkan data itu pula Firmansyah sampai pada kesimpulan, hampir tidak ada pembaruan internal di MA sepanjang menyangkut penanganan perkara uji materiil. “Untuk perkara uji materiil, nyaris tidak ada pembaruan di MA untuk memanage perkara yang masuk,” ujarnya.

Dalam Laporan Kegiatan Mahkamah Agung RI Tahun 2003-2004, khusus pada bagian penyelesaian perkara, uji materiil tidak disinggung sama sekali. Program mendorong dipenuhinya formasi jumlah hakim agung disebut hanya untuk meningkatkan kinerja MA dalam menangani perkara kasasi dan peninjauan kembali.

Kepala Subdirektorat Kasasi/Peninjauan Kembali (PK) TUN Abdul Manan membenarkan data tadi. Tetapi menurut dia. Itu bukan berarti tidak ada yang diputus sama sekali. Mungkin saja majelis hakim agung sudah memutus, tetapi karena masih harus diteliti ulang maka belum tercatat di register TUN. Bisa pula sudah diputus, tetapi karena belum disampaikan kepada para pihak, seolah-olah MA belum memutus.

Fungsi MA menangani perkara uji materiil disebut dalam pasal 31 Undang-Undang No. 5 Tahun 2004. Berdasarkan pasal ini:
1. MA mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap undang-undang
2. MA menyatakan tidak sah peraturan di bawah Undang-Undang atas alas an bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku;
3. Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil berhubungan dengan pemeriksaan tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung ke MA;
4. Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dimuat dalam Berita Negara RI dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak putusan diucapkan

Demikian pembahasan tentang hak uji materiil tentang kewengan dan prosedur pengajuan judicial riview terhadap peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. yang dalam undang-undang nomor 10 tahun 2004 ternatng penyusunan peraturan perundang-undangan secara hirarkis sebagai berikut:
Undang-undang Dasar 1945
Undang-undang
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Keputusan Presiden
Peraturan Daerah
Untuk itulah lembaga yang sebenarnya kewenangan yang berhak untuk melakukan hak uji atas peraturan perundang-undangan adalah Mahkamah Konstitusi untuk Undang-undang keatas sesuai garis hirarkis dan Mahkamah Agung untuk Peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang.

* Penulis adalah Assisten Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum (LKPH) Fakultas Hukum UMM




[1] Lihat Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang peraturan pembuatan perundangan pasal 7
[2] Lihat R. Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia,hal: 100
[3] hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai, apakah dalam pembentukan peraturan peundang-undangan tersebut sudah sesuai dengan prosedur yangt jelas dan tepat dan hak menguji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakahy suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
[4] Lihat Sri suparyati, Judicial Review bagi Perppu anti Terorisme,LSPP,KONTRAS, Imparsial, KUKMS, hal vi
[5] Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA RI) nomor 1 tahun 1999
[6] Kompas, wawancara dengan beberapa anggota MPR/DPR berkaitan dengan Hak Uji Materiil
[7] Lihat Undang-undang Dasar 1945 Republik Indonesia

1 oktober pancasila tidak agi sakti

1 OKTOBER HARI PANCASILA TIDAK LAGI SAKTI
Oleh : Teguh Adminto*

Rencana pemerintah menaikan harga BBM pada 1 Oktober merupakan sejarah kedua bagi bangsa Indonesia. Seperti tahun lalu Indonesia masih memperingati 1 Oktober sebagai hari kesaktian Pancasila, Karena Pancasila masih kembali berjaya setelah peristiwa G30S yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia. Dan sebenarnya kembalinya Pancasila kepangkuan ibu Pertiwi adalah bukan karena kesaktian Pancasila tetapi karena karunia Tuhan. Oleh karena itu seharusnya bangsa Indonesia mensyukurinya dengan menamakan hari tersebut sebagai Hari Syukur Nasional.
Rasa syukur yang seharusnya diperingati oleh masyarakat Indonesia berubah drastis menjadi sebuah “tsunami” kedua yang mengoyak perekonomian rakyat. Kenaikan BBM yang di “paksakan” oleh pemerintah merupakan pil pahit yang harus dirasakan lebih dari 15,6 Juta KK atau sekitar 62 juta penduduk. (versi BPS). Padahal kenaikan harga BBM belum lama dilakukan oleh pemerintahan SBY-KALA.

1 Oktober 2000
Kita masih belum lupa tanggal 1 Oktober 2000 pada masa pemerintahan Gus Dur juga telah terjadi aksi demo besar-besaran untuk menolak kenaikan harga BBM, begitupun pada masa Megawati memegang kekuasaan. Sangat ironis ketika masyarakat Indonesia seharusnya menyambut rasa syukur atas tumbangnya pemberontakan PKI harus merasakan pemberontakan dari pemerintah sendiri.
Padahal pemerintah sangat tahu bahwa masyarakat Indonesia masih belum sembuh dari trauma atas kenaikan harga akibat naiknya harga BBM beberapa bulan yang lalu. Dan yang membuat masyarakat semakin panik adalah hilangnya BBM dari pasaran ketika issu kenaikan mulai menyebar, sehingga masyarakat harus mengantri berjam-jam untuk mendapatkan 5 liter minyak tanah dan bensin. Ketika penulis pada hari rabu (28/9) sedang ikut mengantri di daerah Mojosari (Jawa Timur) melihat seorang laki-laki tua membawa jerigen kecil berkapasitas 5 liter ditolak oleh petugas dengan alasan tidak boleh membeli solar dan bensin menggunakan jerigen. Padahal hanya membutuhkan lima liter solar untuk menyalakan mesin dieselnya untuk mengairi ladangnya. Apalah arti lima liter bagi masyarakat kecil, padahal di lawe-lawe penyelundupan minyak yang jumlahnya beribu-ribu ton dan terjadi bertahun-tahun toh dibiarkan saja.
Itu merupakan salah satu contoh yang dialami masyarakat kecil. Masyarakat Indonesia yang sedang mengalami sakit kronis yang ingin hidup tetapi “seolah-olah” sudah tidak boleh menikmati hidup lagi. Dan kita hanya bisa menanti rahmatan dari Tuhan saja seperti hancurnya pemberontakan kaum komunis di Indonesia. Mengharapkan dari pemerintah merekalah yang menjadi pemeras dan pendzolim rakyatnya, berharap pada alam juga telah dijarah oleh “oknum” pemerintah. Berharap pada orang tua, mereka juga miskin dan menderita akibat kebijakan pemerintah. Ingat pemerintah masih mensubsidi Bahan Bakar Minyak kita yang jumlahnya sekitar Rp.800,- per liter sehingga klau di kalkulasi jumlahnya mencapai 98 triliyun untuk tiga bulan kedepan. Dan hal ini akan berimbas adanya kenaikan harga lagi yang waktunya belum kita ketahui. Karena harga yang sekarang diterapkan sekarang masih berada di bawah harga minyak dunia. Artinya pemerintah akan menyamakan harga minyak nasional dengan harga minyak di pasar dunia.
Sekarang harga minyak tanah sudah mencapai Rp.2.000,- per liter, bensin Rp.4.500,- per liter, solar Rp.4.300,-. Kenaikan harga yang mencpai 50% ini sangat menyengsarakan rakyat kecil, tapi kita bisa berbuat apa. Toh kita hanya bisa merasakan kemiskinan yang semakin kronis. Berapa juta lagi kaum kita akan bertambah banyak. Jangan-jangan kita akan memecahkan negara Etiopia atau Somalia. Anak ayam mati di dalam lumbung padi.

Pancasila vs pancasiksa
Terimakasih kami ucapkan kepada para pahlawan yang telah mencurahkan idealismenya tentang bangsa ini kedalam sebuah rangkaian kalimat-kalimat sakral yang sampai saat ini masih menyimpan kesakralanya itu, yaitu lima sila yang berisi tentang falsafah bangsa Indonesia. Seandainya sila-sila yang ada dijalankan secara murni dan konsekwen maka masyarakat Indonesia akan sangat bangga dengan bangsa Indonesia.
Sejak sekolah dasar kita selalu dibelajari tentang arti dan makna Pancasila, bahkan sampai perguruan tinggi masih ada yang memberikan materi kuliah Pancasila. Tidak dinafikkan bahwa Pancasila adalah ajaran ideologi yang sangat dicintai oleh bangsa Indonesia. “Bangga saya jadi bangsa Indonesia dengan Pancasila yang sangat idealis dan sempurna”, itu yang ada dibenak penulis pada waktu masih berada di sekolah dasar.
Bila kita ingat sila pertama berbunyi Ketuhanan yang Maha Esa, bukan itu yang kita lihat dari kenyataan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari bangsa ini. Semua yang ada di bangsa ini berjalan bila ada uang, bahkan kadang tuhan dinomor duakan. Mau cari uang dengan uang, mau buang air dengan uang, mau tidur dengan uang bahkan (maaf) matipun dengan uang. Apalagi kalau bukan Keuangan yang Maha Kuasa.
Hampir setiap hari di televisi dan surat kabar kita melihat terjadinya pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, penganiayaan bahkan bentrokan antar suporter ataopun mahasiswa/pelajar baik di daerah maupun di ibu kota. Ironisnya mereka diberi penalaran tentang Pancasila cukup lama dan matang dan bisa mengartikan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Apakah manusia Indonesia masih ada yang beradab, sulit mencari orang yang mempunyai pemimpin yang adil, bijaksana, berperadaban tinggi. Apa bedanya dengan kemanusiaan yang batil dan biadab.
Persatuan Indonesia bukan Persetruan Indonesia, walaupun banyak sekali konflik yang melanda bangsa ini mulai dari Aceh, Ambon, Papua dan Timor Leste (eks). Apa mau dikata Indonesia memang milik Jakarta dan Jakarta milik elit penguasa jadi pemangku adat hanya menerima getah saja dari ulah para penguasa. Jangan salahkan putra daerah yang ingin melepaskan diri dari NKRI jika mereka tidak mendapatkan hak yang sesungguhnya.
Ada apa dengan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, masihkah wakil rakyat menjadi lidah penyambung bagi para konstituennya. Jangan-jangan mereka hanya membesarkan anggaran belanja negara saja. Sehingga mereka bisa seenak perutnya sendiri mengenyangkan dan membesarkan perutnya. Barangkali sila ke-empat sudah berubah menjadi kerakyatan yang dipimpin oleh orang bejat untuk memberi kebijaksanaan dalam persekongkolan perwakilan.
Sedangkan pada sila yang kelima masihkah berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukankah keadilan hanya milik orang yang memiliki uang saja. Rakyat kecil mana bisa mendapatkan keadilan, ada paling sebuah kebatilan yang diberikan oleh para penguasa. Sepertinya sila kelima ini telah berubah bunyi. Mungkin menjadi kebatilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sungguh tragis nasibmu rakyat Indonesia.
Saatnya kita berjuang melawan para pengeruk harta bangsa, kita harus tegakan keadilan untuk seluruh masyarakat. Kita tidak boleh diam dengan adanya kezaliman yang merajalela di bumi Indonesia.

* Penulis adalah Mahasiswa S-1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, pemred buletin HIKMAH. email titto_arema@yahoo.com